Difference between revisions of "Si Singamangaraja XII"

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Jump to navigation Jump to search
Line 42: Line 42:
 
* [http://sopopanisioan.blogspot.co.id/2012/03/cerita-salah-seorang-cucu-raja.html Wawancara dengan Raja Napatar, Blogspot]
 
* [http://sopopanisioan.blogspot.co.id/2012/03/cerita-salah-seorang-cucu-raja.html Wawancara dengan Raja Napatar, Blogspot]
 
* [https://www.facebook.com/Dr.IchwanAzhari/posts/182955098769343 Fiksi keberadaan foto Sisingamangaraja XI]
 
* [https://www.facebook.com/Dr.IchwanAzhari/posts/182955098769343 Fiksi keberadaan foto Sisingamangaraja XI]
 +
* [https://kleinnagelvoort.wordpress.com/2017/01/ The mysterious death of a priest prince]

Revision as of 17:09, 1 April 2017

Stempel Si Singamangaraja XII

Berikut adalah catatan dalam penelitian Lifepatch mengenai Si Singamangaraja XII.

Si Singamangaraja XII

Si Singamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dengan nama Patuan Bosar.

Pengangkatan Si Singamangaraja hanya dapat dilakukan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora melalui sebuah upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!

Hans Christoffel

Hans Christoffel, 1906
Hans Christoffel, Temenggoeng Silam - Geheugen van Nederland.png

Ludwig Ingwer Nommensen

Foto Ludwig Ingwer Nommensen tahun 1910, sumber Leiden University Library
Foto seorang Kepala Dusun dari Silindung, Batak, foto diperkirakan Raja Pontas Lumbantobing. Sumber: Leiden University Library
Pembaptisan keluarga Si Singamangaraja XII di Pea Raja

Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; lahir di Nordstrand, Denmark (kini Jerman), 6 Februari 1834 – meninggal di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918 pada umur 84 tahun) adalah seorang penyebar agama Kristen Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. yang berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi penginjil. Selama empat tahun ia belajar di seminari zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861. Ia ditugaskan oleh RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang. Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk menetap di daerah Toba. Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan dengan alasan keamanan. Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah Sipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya lambat. Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.

Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal di rumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas Lumban Tobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.

Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengizinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi Raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan Nomensen tinggal di rumahnya.

Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung. Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka. Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari Sibolga. Februari 1878, ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I. Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Singamangaraja di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878, Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.

Perang Tapanuli / Perang Batak (1878 - 1907)

1907 - 18x13cm A 1st lieutenant of the KNIL (back row bareheaded) with a unit trooper with relatives Si Singamangaraja XII in Pasanggrahan to Siborongborong 02.jpg
Hans Christoffel (barisan belakang tanpa mengenakan topi) bersama keluarga Si Singamangaraja XII. Duduk dari Kiri ke Kanan 1. Boru Nadeak (Istri kedua Si Singamangaraja XII), 2. Boru Situmorang (Ibunda Si Singamangaraja XII), 3. Boru Sagala (Istri Si Singamangaraja XII), serta berdiri mengenakan baju putih adalah Ama ni Pulo Batu, sepupu dari ibunda Si Singamangaraja XII. Sumber: Leiden University Library

Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung, dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending, dengan tokoh penyebarnya Nommensen (orang Jerman). Raja Si Singamangaraja XIII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.

Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Si Singamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Si Singamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Si Singamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Si Singamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Si Singamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.

Referensi dan Pranala Luar