Difference between revisions of "Si Singamangaraja XII"
Line 3: | Line 3: | ||
==== Si Singamangaraja XII==== | ==== Si Singamangaraja XII==== | ||
− | Si Singamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dengan nama Patuan Bosar. | + | Si Singamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dengan nama Patuan Bosar. Ia meninggal di Parlilitan, Dairi (sekarang termasuk dalam daerah kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara) pada tanggal 17 Juni 1907 (umur 62 tahun). |
Pengangkatan Si Singamangaraja hanya dapat dilakukan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora melalui sebuah upacara ''margondang''. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas! | Pengangkatan Si Singamangaraja hanya dapat dilakukan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora melalui sebuah upacara ''margondang''. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas! |
Revision as of 14:12, 12 August 2017
Berikut adalah catatan dalam penelitian Lifepatch mengenai Si Singamangaraja XII.
Si Singamangaraja XII
Si Singamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dengan nama Patuan Bosar. Ia meninggal di Parlilitan, Dairi (sekarang termasuk dalam daerah kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara) pada tanggal 17 Juni 1907 (umur 62 tahun).
Pengangkatan Si Singamangaraja hanya dapat dilakukan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora melalui sebuah upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!
Hans Christoffel
Hans Christoffel dan koleksi artefak dari Indonesia di museum MAS, Antwerpen
koleksi museum sering memiliki cap bunga kolektor individu dan rasa. Namun ini bahkan lebih, ketika koleksi tertentu adalah bagian dari sejarah pribadinya juga.
Karir
Hans Christoffel lahir sebagai salah satu dari anak-anak Johann Christoffel dan Kathrina Battaglia, pada 13 September 1865. Mereka tinggal di Rothenbrunnen, Kreis Trins, kanton Graubunden, Swiss. Ini adalah masa sulit di wilayah tersebut. sumber daya pertanian yang langka setelah sejumlah kemunduran ekonomi. Kondisi memicu migrasi pemuda dari lembah. Christoffel pergi ke Italia, dan kemudian ke Jerman. Setidaknya dua anggota keluarga lainnya bermigrasi ke Antwerp, Belgia. Sebagai karir militer menarik baginya, dan setelah mempertimbangkan bergabung dengan tentara di British India, Hans menemukan dirinya di Kedutaan Besar Belanda di Hamburg. Ia menandatangani sebagai pribadi di Royal Dutch East Indies Army * pada bulan Februari 1885. Tentara ini dibentuk untuk “menenangkan” yang “Garland dari Zamrud”, Hindia Belanda. Itu dalam kenyataannya sebuah Legiun Asing. petugasnya lebih sering daripada tidak Eropa, tetapi jajaran rendah berasal dari “milik Belanda” koloni pada saat itu dalam waktu. Itu adalah kebijakan yang berdiri untuk menempatkan unit tentara dari asal yang berbeda di tempat di sebuah pulau tertentu. tanah air masing-masing berkisar antara Belanda dan Belgia di Barat, Gold Coast Afrika, dan Kepulauan Maluku di Timur. Pada paruh kedua abad ke-19, muncul pemberontakan nasionalis, meskipun jarang dan jauh antara pada awalnya, menjadi ancaman serius bagi kepentingan Belanda dagang penting. Dikenal sebagai “Kepulauan Rempah-Rempah”, koloni Belanda telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekonomi Belanda. Namun, keberhasilan komersial lama tersendat, disebabkan juga oleh masalah di rumah - setelah kemerdekaan Belgia. Bahkan, perekonomian pulau-pulau selama kuartal terakhir abad ke-19 dianggap berada di ujung pisau. Sebagian dari masalah adalah kebutuhan untuk menjaga pertumbuhan pernah-dan tentara selalu mobile tentara dan administrator di tempat. Misi utama mereka adalah untuk memastikan aliran terganggu “Kolonial Barang” ke Eropa. Sebulan setelah penandatanganan, yang merekrut muda berlayar dari Rotterdam ke Batavia, sekarang Jakarta. Dia dianggap sebagai pria muda yang cerdas, dan akibatnya ditugaskan pekerjaan administrasi di Surabaya pada tahun 1892. Hal ini bertepatan dengan kerusuhan di Aceh, di pulau Sumatera. Dia menawarkan diri untuk peran yang lebih aktif, awal yang tepat dari apa yang akhirnya menjadi karir yang luar biasa dan bintang. Promosi datang secara berurutan, didorong oleh eksploitasi dan meningkatnya minat dari surat kabar Belanda saat itu. Tentara India Timur berjuang beberapa disebut “perang” di Aceh. Mereka semua berakhir dalam beberapa bentuk kebuntuan. Aceh adalah pijakan awal Islam di Nusantara, dan satu kaya untuk boot. Terletak dekat Selat Malaka, Kesultanan bisa membalas retribusi dari lalu lintas maritim dari Cina ke Barat, dan ekspor barang berharga seperti lada dan emas. The Aceh digunakan tabrak lari taktik pada tentara yang dilatih untuk melawan perang bergaya Eropa tertib. Akibatnya, sering ditembaki pada medan pasti asing. Christoffel menemukan dirinya menjadi bagian dari “perang pasifikasi” keempat. kopral itu menjadi, maka petugas surat perintah sersan mayor, maka letnan dua. Pada saat itu ia bergabung dengan jajaran pasukan Jenderal Van Heutz’. Dia ditugaskan tugas seperti keterangan dari kepala kebangkitan sulit dipahami, yang telah direcoki pemerintahan Belanda selama satu dekade atau lebih. Pada titik ini ia dihiasi untuk pertama kalinya, dan banyak lagi medali akan mengikuti. Pada tahun 1902 ia ditugaskan ke “Marsose”, sebuah unit yang baru terbentuk yang sering tidak jauh dengan gaun kode, dan menggunakan senjata lokal serta yang terbaru senjata berulang Eropa. Unit ternyata sangat sukses di bawah komando Christoffel ini. Populer dengan tentara, ia terkenal karena berpikir cepat dan ketekunan. Meskipun seorang pria bersuara lembut kecil dengan menusuk mata biru, ia menjadi semacam legenda dalam tentara. Koran-koran Belanda mulai mengambil berita. Pada tahun 1903 ia dipromosikan lagi, untuk Letnan Dua, menjadi yang pertama perwira non-Belanda naik ke peringkat itu. tugas baru diikuti. Dia menetap situasi di Kesultanan Aceh dengan menetralisir Sultan-Pretender dan komandannya Panglima Polem. tugas lain adalah “pasifikasi” dari Alas dan Gayo wilayah di Sumatera. Ini adalah daerah perbukitan yang sulit terjepit di antara kerajaan Aceh dan tanah Batak. The dua ratus Unit Marsose yang kuat sistematis diberantas semua kampung menentang. Ini adalah ringan dengan desa bambu dibentengi. Its pria dan wanita, mengenakan pakaian berkabung putih, berjuang tentara off dengan busur, tombak, pedang pendek dan front-loading senapan. Setelah senjata diam, desa itu sebenarnya diberantas - pria, wanita, kadang-kadang anak-anak dan hewan ternak juga. Tetapi tidak sebelum foto dan penghitungan itu terbuat dari korban di kedua belah pihak. komandan Christoffel ini, Van Daalen, mengeluh: “Christoffel terus menembak lama setelah saya diberi perintah untuk berhenti”. Tapi apakah mendapatkan Christoffel satu medali lagi. Dia secara luas ditakuti - yang buronan yang sempurna yang lebih suka menyerang mangsanya, dan menyelesaikan membunuh tanpa belas kasihan. Reputasinya darah-bernoda tumbuh di pulau-pulau, dan eksploitasi yang dipestakan di surat kabar rumah. Saat ini hilangnya keempat dari penduduk tanah Batak-Aceh mungkin akan dianggap genosida. setiap langkah Christoffel ini dianggap sebuah berita. Dia dipuji sebagai “The Flying Swiss”, merujuk pada posting bervariasi nya di nusantara. Di Kalimantan, ia dipasang sebagai kepala daerah. Tugas ini punya dia dipromosikan ke pepatah baru “Tiger dari Barito”, dan pangkat letnan, sekembalinya ke Aceh. Dia terluka beberapa kali oleh belati setan, pedang pendek dan bedil yang -already pada saat itu waktu-gairah mengumpulkan nya. Jenderal Van Daalen sebenarnya karakter menyendiri dan kompleks yang dibenci penduduk pulau-pulau dan mengambil minat yang tulus dalam budaya mereka pada waktu yang sama. Dia mendesak petugas untuk belajar bahasa lokal dan mengumpulkan benda-benda yang menarik. Di antaranya adalah berbagai jenis pedang lokal dan belati, tetapi juga tekstil dan perhiasan. Banyak dari ini diambil dari medan perang, “disumbangkan bawah paksaan” dan kemudian dilelang antara tentara, atau lebih sering daripada tidak, hanya membeli. Namun demikian, pencurian tubuh adalah pelanggaran dihukum. Van Daalen mengirim benda terbaik ke museum di Batavia, surplus pergi ke museum di rumah. Pada akhirnya, ini adalah asal untuk kepentingan tumbuh di masyarakat Sumatera. Sebelumnya, hanya Jawa, Bali dan Lombok telah menerima kepentingan ilmiah. Pada 5 Agustus 1905 ia berangkat ke Eropa, liburan pertama pada tahun-tahun. Dia tinggal setahun di Belanda, Belgia dan Swiss. (Tulisan diambil dari W.Durinx, Koleksi Christoffel di Museum Aan de Stroom, Antwerp, Belgia)
Ludwig Ingwer Nommensen
Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; lahir di Nordstrand, Denmark (kini Jerman), 6 Februari 1834 – meninggal di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918 pada umur 84 tahun) adalah seorang penyebar agama Kristen Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. yang berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi penginjil. Selama empat tahun ia belajar di seminari zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861. Ia ditugaskan oleh RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang. Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk menetap di daerah Toba. Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan dengan alasan keamanan. Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah Sipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya lambat. Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.
Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal di rumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas Lumban Tobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.
Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengizinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi Raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan Nomensen tinggal di rumahnya.
Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung. Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka. Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari Sibolga. Februari 1878, ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I. Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Singamangaraja di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878, Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.
Perang Tapanuli / Perang Batak (1878 - 1907)

Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung, dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending, dengan tokoh penyebarnya Nommensen (orang Jerman). Raja Si Singamangaraja XIII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.
Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Si Singamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Si Singamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Si Singamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Si Singamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Si Singamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.
Referensi dan Pranala Luar
- Peran Zending dalam Perang Toba, catatan oleh Uli Kozok
- E-book "Utusan Damai di Kemelut Perang - Peran Zending dalam Perang Toba" ditulis oleh Uli Kozok
- KOLONE MACAN (Unit Khusus MARSOSE yang terkenal Kejam dan Bengis) di Blogspot
- Perpustakaan Digital Museum Wereld Culturen
- Perpustakaan Digital KITLV
- Wawancara dengan Raja Napatar, Blogspot
- Fiksi keberadaan foto Sisingamangaraja XI
- The mysterious death of a priest prince
- Senjata tradisional Sumatera Utara