Difference between revisions of "Si Singamangaraja XII"

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Jump to navigation Jump to search
Line 85: Line 85:
 
Antwerp atau Antwerpen adalah salah satu kota pelabuhan utama di Belgia yang terletak di muara sungai Scheldt. Selain memiliki Museum aan de Stroom (MAS) yang menyimpan koleksi berupa berbagai artefak dan benda-benda koleksi Hans Christoffel, kota ini merupakan tempat Hans Christoffel menghabiskan waktunya dan tinggal bersama istrinya setelah mengundurkan diri dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Beberapa peninggalan dari Hans Christoffel selain koleksi benda bersejarah dari Indonesia yang di koleksi di MAS, antara lain adalah rumah-rumah yang dulu menjadi tempat tinggal Hans Christoffel yang tersebar di seputar kota Antwerp.
 
Antwerp atau Antwerpen adalah salah satu kota pelabuhan utama di Belgia yang terletak di muara sungai Scheldt. Selain memiliki Museum aan de Stroom (MAS) yang menyimpan koleksi berupa berbagai artefak dan benda-benda koleksi Hans Christoffel, kota ini merupakan tempat Hans Christoffel menghabiskan waktunya dan tinggal bersama istrinya setelah mengundurkan diri dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Beberapa peninggalan dari Hans Christoffel selain koleksi benda bersejarah dari Indonesia yang di koleksi di MAS, antara lain adalah rumah-rumah yang dulu menjadi tempat tinggal Hans Christoffel yang tersebar di seputar kota Antwerp.
  
<gallery mode="packed" widths=400px heights=225px perrow=1 caption="Bekas rumah Hans Christoffel Selama Hidupnya">
+
<gallery mode="packed" widths=800px heights=200px perrow=1 caption="Bekas rumah Hans Christoffel Selama Hidupnya">
 
File:Rumah HC 01.jpg | Rumah Hans Christoffel dan Adolphina Anna Maria van Rijswijck - ''The Keyserlei, Antwerp, 1904 Postcard - Courtesy of Willy Durinx (Museum aan de Stroom)''
 
File:Rumah HC 01.jpg | Rumah Hans Christoffel dan Adolphina Anna Maria van Rijswijck - ''The Keyserlei, Antwerp, 1904 Postcard - Courtesy of Willy Durinx (Museum aan de Stroom)''
 
</gallery>
 
</gallery>
  
<gallery mode="packed" widths=400px heights=225px perrow=3>
+
<gallery mode="packed" widths=300px heights=175 px perrow=3>
 
File:Rumah HC 02.jpg
 
File:Rumah HC 02.jpg
 
File:Rumah HC 03.jpg
 
File:Rumah HC 03.jpg
File:Rumah HC 04.jpg | Rumah Terakhir Hans Christoffel sebelum meninggal di tahun 1962
+
File:Rumah HC 04.jpg | Rumah Hans Christoffel sebelum meninggal di tahun 1962
 
</gallery>
 
</gallery>
  

Revision as of 15:29, 27 October 2017

Stempel Si Singamangaraja XII

Berikut adalah catatan dalam penelitian Lifepatch mengenai Si Singamangaraja XII dan beberapa tokoh yang terlibat dalam perang Tapanoeli 1907

Tokoh

Si Singamangaraja XII

Error creating thumbnail: File with dimensions greater than 12.5 MP
Tarombo Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII

Si Singamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dengan nama Patuan Bosar yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.. Ia meninggal di Parlilitan, Dairi (sekarang termasuk dalam daerah kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara) pada tanggal 17 Juni 1907 (umur 62 tahun).

Pengangkatan Si Singamangaraja hanya dapat dilakukan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora melalui sebuah upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!


Hans Christoffel

Hans Christoffel, 1906
Hans Christoffel, Temenggoeng Silam - Geheugen van Nederland.png

Profil Hans Christoffel berdasar terjemahan bebas dari tulisan Willy Durinx, (Co- Curator 'Collectie Christoffel' di Museum aan de Stroom (MAS) Antwerp, Belgium.)

Hans Christoffel lahir pada 13 September 1865 sebagai salah satu putra Johann Christoffel dan Kathrina Battaglia dan tinggal di Rothenbrunnen, Kreis Trins, kanton Graubunden, Swiss. Didorong kemunduran ekonomi yang menyebabkan terjadinya migrasi keluar dari wilayah tempat tinggalnya, Hans Christoffel tertarik memulai karir di bidang militer dan membawanya ke Kedutaan Besar Belanda di Hamburg untuk bergabung sebagai tentara berpangkat private di “Koninklijk Nederlands Indisch Leger” atau “K.N.I.L.” (The Royal Dutch East Indies Army) pada bulan Februari 1885. Sebuah kesatuan yang dibentuk untuk "menenangkan" kondisi di the “Garland of Emeralds” (Untaian Emeralds), Hindia Belanda. Pada kenyataannya, KNIL merupakan Legiun Asing yang dominan berisi bukan orang Eropa. Bahkan, jajaran kepangkatan rendah di kesatuan itu berisi orang-orang dari koloni-koloni "milik Belanda" yang berasal dari suatu pulau atau daerah tertentu untuk kemudian ditempatkan di pulau lain.

Sebulan setelah diterima menjadi tentara, Hans Christoffel berlayar dari Rotterdam ke Batavia (sekarang bernama Jakarta) dan ditugaskan melakukan pekerjaan administrasi di Surabaya pada tahun 1892 tepat pada saat kerusuhan dan perlawanan terjadi di Aceh. Tentara KNIL bertempur di beberapa kejadian yang sering disebut sebagai “perang” di Aceh dan kesemuanya berakhir pada kebuntuan. Aceh adalah pijakan awal perkembangan Islam di Nusantara meupakan wilayah yang cukup kaya untuk dikuasai. Terletak dekat Selat Malaka, Kesultanan bisa mendapatkan keuntungan berlimpah dari aktivitas lalu lintas maritim dari Cina ke Barat, dan mengekspor barang berharga seperti lada dan emas. Orang-orang Aceh menggunakan taktik gerilya atau hit-and-run pada tentara mereka yang dilatih untuk melawan gaya perang Eropa yang tertib dan sangat terikat pada perintah. Akibatnya, mereka sering terjebak pada medan pertempuran dengan kondisi geografis yang tidak mereka kenali. Peristiwa yang mendorong Christoffel mengajukan diri secara sukarela mengambil peran yang lebih aktif di garis depan.

Christoffel masuk menjadi bagian dari “perang pasifikasi” yang ke-empat. Dari berpangkat Corporal menjadi Sergeant-Major, kemudian Warrant Officer, hingga Second Lieutenant yang menjadikannya termasuk dalam jajaran perwira di pasukan Jenderal Van Heutz. Dia ditugaskan di berbagai misi yang selama ini sangat sulit diselesaikan dan telah mengganggu pemerintahan Belanda selama satu dekade atau lebih. Pada titik ini, ia mendapatkan penghargaan untuk pertama kalinya, yang kemudian diikuti berbagai medali penghargaan lainnya. Pada tahun 1902, Christoffel ditugaskan untuk tergabung di unit “Maréchaussée”, sebuah unit khusus yang baru dibentuk dengan seragam khusus dan dilengkapi peralatan dari senjata lokal hingga senjata api teknologi terbaru dari Eropa yang bisa menembak berulang kali. Unit ini ternyata membawa hasil yang sangat gemilang di bawah komando Christoffel. Dia sangat populer dan terkenal karena cepat berpikir dan memiliki ketekunan. Meskipun dianggap pria kecil bersuara lembut dengan mata biru yang menusuk, ia menjadi semacam legenda dalam jajaran ketentaraan. Koran-koran Belanda mulai mengambilnya sebagai sumber berita. Pada tahun 1903 ia dipromosikan lagi menjadi Lieutenant dan menjadi orang non-Belanda pertama kali yang mencapai peringkat itu.

Beberapa penugasan baru diterimanya. Dia menyelesaikan beberapa permasalahan di Kesultanan Aceh dengan menetralisir perjuangan Sultan dan komandan tentaranya, Panglima Polem. Tugas lainnya adalah “pasifikasi” dari Alas hingga Gayo di wilayah Sumatera, sebuah wilayah perbukitan yang sulit dijangkau dan berada di antara kerajaan Aceh dan tanah Batak. Bersama dua ratus unit Maréchaussée, secara sistematis mereka memberantas semua perlawanan di berbagai kampung. Wilayah pertahanan yang hanya berupa desa dengan perkuatan dinding pertahanan dari bambu. Sedangkan penduduknya baik pria dan wanita berjuang melawan Maréchaussée hanya bersenjata busur, tombak, pedang pendek dan senapan lontak beramunisi bola timah dan mesiu. Mereka benar-benar diberantas, tidak hanya pria dan wanita, tetapi juga kadang-kadang anak-anak dan bahkan hewan ternak. Komandan Christoffel, Van Daalen berkisah bahwa “Christoffel tetap terus menembak hingga lama meskipun saya telah memberi perintah untuk berhenti”. Dia secara luas ditakuti - sebagai bushranger sempurna yang suka menyerang mangsanya dan menyelesaikannya dengan membunuh tanpa belas kasihan. Reputasinya tersebar hingga berbagai pulau dan selalu mengisi halaman surat kabar. Dia dipuji sebagai “The Flying Swiss”, merujuk pada berbagai varian berita dari kepulauan nusantara. Di Kalimantan, ia ditugaskan sebagai kepala daerah. Tugas yang membuatnya memiliki julukan baru “Tiger dari Barito”, dan pangkat letnan sekembalinya ke Aceh.

Setelah usai berlibur selama setahun di Eropa, Christoffel kembali ke Hindia Belanda di tahun 1906. Dia langsung ditugaskan untuk menetralisir para Raja dan pemimpin yang melakukan perlawanan di pulau Sulawesi, Timor dan Flores. "The Flying Swiss" (sebutan yang mengacu pada kisah hantu "Flying Dutchman" yang tertanam kuat sekarang di dalam pikiran orang Belanda) telah mendapatkan kewarganegaraan Belanda sebagai syarat yang diperlukan untuk bisa mempromosikannya lebih jauh menjadi Capitein pada tahun 1907. Prestasi yang membuat Christoffel menjadi sangat terkenal adalah keberhasilannya menangkap Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, atau lebih dikenal dengan gelar Si Singamangaraja XII yang merupakan pemimpin masyarakat Toba. Meskipun tidak memiliki kekuatan mutlak atas empat raja Batak lainnya, Si Singamangaraja XII merupakan pemimpin terakhir dan pengelola struktur klan sosial yang kompleks. Singamangaraja menggabungkan statusnya sebagai "raja sekaligus pendeta" untuk memimpin politik lokal, memimpin setiap upacara adat sebagai pendeta, dan bertugas menegakkan keadilan. Di tahun 1907, Christoffel bersama salah satu unit kecil kesatuan Maréchaussée yang terkenal dengan sebutan “Tiger Brigade” (Coloni Matjan) bergerak mengejar Si Sisingamangaraja XII mengelilingi daerah pegunungan Batak sejauh ratusan mil. Di tanggal 17 Juni 1907, Si Sisingamangaraja XII dan keluarganya terjebak dalam pertempuran di sebuah jurang. pertempuran terkahir yang membuat Si Singamangaraja XII bersama putri dan kedua putranya meninggal dalam baku tembak. Tubuh Patuan Bosar Ompu Pulo Batu dipamerkan di pasar kota Balige, dekat Danau Toba. Sebuah peristiwa dramatis karena Singamangaraja dalam kepercayaan masyarakat Toba seharusnya tidak mati, tetapi menghilang. Tanpa memerlukan waktu panjang, Hans Christoffel pada waktu itu dianggap sebagai pahlawan di negara Belanda.

Setelah melalui berbagai peristiwa lainnya di pulau Timor, Flores dan sebuah tugas susulan di Aceh, pada bulan Desember 1908, Christoffel mendapatkan medali penghargaan militer tertinggi dan Eresable (Sabre of Honour). Saat itu, Dia adalah perwira tertinggi di jenjang kemiliteran Belanda. Meskipun demikian, beberapa rekan perwira lain dan beberapa diantaranya berpangkat lebih tinggi tetap menganggapnya sebagai orang asing dan tidak menyukai keberhasilan Christoffel. Bahkan, beberapa dari mereka menolak dan meminta untuk dipindahkan ketika Christoffel menginginkan beberapa perwira bawahan sudah berpengalaman untuk meredakan konflik di Sulawesi. Diduga banyak dari mereka menolak dengan alasan membenci taktik yang digunakan Christoffel ketika bertempur. Namun di saat yang sama, dia sangat populer bagi tentara dan sebagian besar perwira bawahannya. Mereka menjulukinya "Captain Ketjhil" atau "Little Captain". Suatu ketika, ia dikenali saat sedang makan dalam diam di sebuah pojok restoran Surabaya oleh beberapa perwira yang sedang makan di sana. Dengan cepat mereka mengambil beberapa alat musik, mengangkat Christoffel di kursi dan mengaraknya berkeliling. Sebagai bagian dari rasa hormat kepada Christoffel sebagai balasan dari rasa hormatnya terhadap mereka.

Akhirnya, setahun setelah menikah dengan Adolphine Van Rijswijck yang merupakan putri dari walikota kota Antwerp, Hans Christoffel mengajukan pensiun dini atas permintaannya sendiri dan meninggalkan K.N.I.L. pada tanggal 2 November 1910. Meskipun usianya baru 45 tahun, dia telah menghabiskan 24 tahun di daerah tropis. Dia menerima pensiun 2000 gulden per tahun, jumlah yang sangat besar pada saat itu. Salah satu surat kabar berpendapat, bahwa dia lebih baik telah tewas dalam salah satu misi terakhirnya, sehingga karirnya akan bersinar sempurna, dan tidak tercemar dengan pensiun!

  • “Christoffel got his Honourable Dismissal... Ever since he is hand over heels in love, he seems to have tired of life in the jungle. The fearless scout, bushranger and tracker, the warrior who was able to inspire his Ambonese soldiers to superhuman deeds, the hero who never sidestepped an obstacle, has succumbed to the whims of the daughter of an Antwerp Mayor. The East India Army forfeited him. The pleasures of life in Europe were more attractive to a man who had never before enjoyed them. He had his permission for leave extended time and again, and he returned reluctantly to the remote Tropics. He got his retirement for what seems a trifle in his extensive career. Oh, If only he would have disappeared on the pinnacle of his Glory! After he had done his unbelievable marauding through darkest Borneo, or his glorious feats against the insurgent leaders on Celebes, or, near here, his marvellous quest to apprehend Si Singamangaraja, the mystical priest-king who had eluded everyone but Christoffel. If he would have disappeared then, his career in the Indies would have been a truly great achievement, with a glittering lining. Now, like the others, he will disappear into oblivion like the others who went into retirement!” (De Sumatra Post, October 21st 1910)

Hans Christoffel dan Adolphine Van Rijswijck tinggal di rumah milik Van Rijswijck di De Keyserlei. Seusai meninggalkan KNIL, Christoffel kembali memulai perjalanan ke Hindia Timur bersama Adolphine selama dua puluh tahun. Pasangan itu tinggal di Jatinegara, Jakarta Timur untuk sementara, dan di Surabaya. Bersama-sama, mereka juga menjelajahi sungai-sungai menggunakan prau dan mengunjungi Sulawesi dan Sumatra. Tujuannya sering kali merupakan tempat di mana Hans menghabiskan masa ketika masih aktif sebagai tentara. Perlahan Christoffel memulai bisnis pertambangan di Jawa sisi utara, kemudian mendirikan perusahaan minyak di Aceh, dan kemudian menetap sebagai petani di Jawa. Pandangannya dalam hidup juga berubah secara drastis dan menandai perubahan itu dengan membakar buku harian dan catatan, foto dan laporannya. Menurut kata-katanya sendiri "he drew a curtain over his old life". Tindakan yang menjadi salah satu penghalang dalam menelusuri sejarah pribadinya dengan cara akurat dikemudian hari. Dia menganggap karir militernya sebagai tugasnya, tidak lebih, tidak kurang. Ini terkait dengan konsensus tentang Peraturan Kolonial pada saat itu "It is a messy job, but it has to be done". Sungguh luar biasa bagaimana pandangan hidupnya berubah. Minat utamanya pada saat itu adalah filsafat Hindu. Dia melakukan perjalanan ke India, Sri Lanka, Filipina dan Australia. Mohandas Gandhi, tokoh idealisme non-kekerasan, telah banyak menginspirasinya. Christoffel telah menjauhkan diri dari dirinya yang lama dengan cara lama ...

Koleksi senjata, tekstil dan objek budaya material lainnya yang ia temukan di kehidupan lamanya menjadi penghalang bagi Christoffel untuk menemukan ketenangan dan kedamaian. Tidak diragukan lagi karena pengaruh istrinya, dia memutuskan untuk menawarkan pinjaman tersebut kepada Kota Antwerp pada tahun 1921....Setelah kematiannya di tahun 1962, Hans Christoffel juga meninggalkan lima bendera perang dari masa Aceh. Namun, dengan instruksi khusus untuk membakarnya setelah kematiannya karena dia meyakini bahwa mereka memiliki semacam sihir hitam. Namun, penerima peninggalan yang juga anggota keluarga Van Rijswijck, menganggapnya terlalu berharga untuk dihancurkan. Hingga kemudian, akhirnya mereka menyumbangkannya ke Ethnographical Antwerp Museum. Dengan instruksi untuk 'hormat' kepada mereka, karena mungkin ada darah dari mereka berasal ekspedisi Gajo-Alas. Bendera-bender itu sekarang dianggap sebagai bendera peninggalan perang Aceh yang terbaik dan masih terlestarikan seperti saat pertama kali didapatkan. selain itu juga ada koleksi peninggalan sejumlah 1.153 item, terdiri dari 670 buah berupa senjata dan sisanya berupa tekstil, perhiasan, barang rumah tangga, dan barang lain. Sekarang seluruh koleksi tersebut menjadi bagian penting dari koleksi Museum MAS (Museum Aan de Stroom) di Antwerp, Belgium.

Ludwig Ingwer Nommensen

Foto Ludwig Ingwer Nommensen tahun 1910, sumber Leiden University Library
Foto seorang Kepala Dusun dari Silindung, Batak, foto diperkirakan Raja Pontas Lumbantobing. Sumber: Leiden University Library

Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; lahir di Nordstrand, Denmark (kini Jerman), 6 Februari 1834 – meninggal di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918 pada umur 84 tahun) adalah seorang penyebar agama Kristen Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. yang berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi penginjil. Selama empat tahun ia belajar di seminari zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861. Ia ditugaskan oleh RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang. Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk menetap di daerah Toba. Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan dengan alasan keamanan. Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah Sipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya lambat. Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.

Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal di rumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas Lumban Tobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.

Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengizinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi Raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan Nomensen tinggal di rumahnya.

Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung. Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka. Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari Sibolga. Februari 1878, ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I. Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Singamangaraja di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878, Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.

Lokasi dan Tempat

Bakkara

Bakkara, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada tahun 2017

Bakkara (Bakara) adalah nama sebuah wilayah di pinggiran barat daya Danau Toba, dekat Muara dan dalam wilayah administratif Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Bakkara dibelah oleh dua aliran sungai besar yang berair deras. Sungai terbesar yang dominan adalah Aek Silang yang bersumber dari air terjun yang tercurah dari bentangan perbukitan. Sungai kedua yang lebih kecil bernama Aek Simangira. Keduanya mengaliri beberapa desa dan bermuara di Danau Toba.

Bakkara sendiri dikenal sebagai pusat Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja dan juga tempat lahirnya raja Si Singamangaraja. Di daerah ini masih dapat dijumpai tempat - tempat yang berkaitan erat dengan baik kisah maupun mitos Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja.

Istana Kerajaan
Tombak Sulu Sulu

Tombak Sulu Sulu adalah tempat kelahiran Si Singamangaraja I.

Sionom Hudon

Sionom Hudon merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Pada zaman Belanda, desa ini masuk keresidenan Tapanuli dengan ibu kota Sibolga distrik Barus Hulu (boven barus) pusat pemerintahan kota Barus. Di desa inilah Si Singamangaraja XII gugur dalam peperangan melawan Belanda. Beberapa peninggalan bersejarah masih dapat ditemui di desa ini, salah satunya adalah makam/tempat meninggalnya dan juga markas terakhir Si Singamangaraja XII.

Markas
Makam/Tempat Meninggal Si Singamangaraja XII
Aek Sibulbulon

Bronbeek Museum

Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda

Bronbeek adalah sebuah bangunan bekas istana kerajaan yang terletak di kota Arnhem, Belanda. Semenjak dibeli oleh Raja Belanda William III, bangunan ini disumbangkan ke Negara Belanda dan difungsikan sebagai rumah tinggal bagi para veteran tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) sekaligus untuk menyimpan berbagai "souvenir" para tentara itu ketika bertugas. Karena banyaknya artefak yang tersimpan, rumah tinggal para veteran ini dikembangkan menjadi museum yang menyimpan sejarah Kerajaan Belanda di masa kolonial di Dutch East Indies (Hindia Belanda). Fokus koleksi yang dipamerkan secara permanen di Bronbeek museum adalah berbagai artefak dan arsip berisi sejarah Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) atau the Royal Dutch-Indian Army dan lawan-lawannya sebagai bagian dari sejarah kehadiran kolonial Belanda di Asia Tenggara, khususnya di Hindia Belanda. Pengembangan museum ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap sejarah dan cerita masa lalu Belanda di era kolonial dan untuk meningkatkan minat terhadap hal ini. Bronbeek museum selain menyimpan berbagai artefak sejarah dari Indonesia di masa kolonial juga menyimpan berbagai dokumentasi dan arsip tentang para tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) ketika bertugas di Hindia Belanda (Indonesia). Salah satunya adalah koleksi yang berupa arsip, dokumen, foto, maupun artefak yang memiliki kaitan erat dengan Hans Christoffel ketika bertugas sebagai tentara KNIL.

Museum aan de Stroom (MAS)

Museum Aan de Stroom (MAS) di Antwerp, Belgia

Museum aan de Stroom (MAS) adalah museum terbesar yang terletak di kota Antwerp, yaitu kota pelabuhan yang selama beberapa abad menjadi titik pertemuan dan pertukaran antara orang-orang dari seluruh dunia. Museum aan de Stroom (MAS) mengoleksi berbagai artefak, karya seni, hingga berbagai benda yang terkumpul karena arus pertemuan orang-orang yang datang ke Antwerp dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Hingga saat ini, MAS memiliki koleksi dengan jumlah sangat banyak hingga mencapai sekitar 500.000 item dan masih terus bertambah. MAS menggunakan seluruh koleksi untuk membentuk narasi baru yang terbagi menjadi beberapa tema utama, antara lain tentang hubungan politik kekuasaan dan pelabuhan dunia. Selain itu juga bercerita tentang pengaruh makanan sebagai salah satu unsur berbentuk kebudayaan di masa lalu, sekarang dan masa depan. Hingga narasi tentang hubungan antara kehidupan dan kematian, manusia dan tuhan, maupun konsepsi di atas dan di bawah dunia. Beberapa koleksi yang disimpan di MAS (Museum Aan de Stroom) adalah benda-benda yang semula di koleksi oleh Hans Christoffel dan didapatkannya dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Beberapa koleksi Hans Christoffel dari Indonesia dipamerkan dalam pameran permanen MAS disertai dengan narasi tentang Hans Christoffel, Sisingamangaraja XII dan hubungan keduanya dimasa kolonial.

Antwerp, Belgia

Antwerp atau Antwerpen adalah salah satu kota pelabuhan utama di Belgia yang terletak di muara sungai Scheldt. Selain memiliki Museum aan de Stroom (MAS) yang menyimpan koleksi berupa berbagai artefak dan benda-benda koleksi Hans Christoffel, kota ini merupakan tempat Hans Christoffel menghabiskan waktunya dan tinggal bersama istrinya setelah mengundurkan diri dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Beberapa peninggalan dari Hans Christoffel selain koleksi benda bersejarah dari Indonesia yang di koleksi di MAS, antara lain adalah rumah-rumah yang dulu menjadi tempat tinggal Hans Christoffel yang tersebar di seputar kota Antwerp.

Artefak

Artefak tentang Si Singamangaraja XII dan Tano Toba

Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII
Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII yang digunakan dalam perang melawan Belanda. Bendera ini sekarang menjadi koleksi MAS Antwerp di Belgia (collection Number: AE.1922.0001.0824 - Courtesy of Museum aan de Stroom)

Bendera Kerajaan Dinasti Sisingamangaraja XII adalah bendera atau lambang yang digunakan oleh Si Singamangaraja XII pada masa kerajaannya di tanah batak. Menurut berbagai sumber, gambar bendera Si Singamangaraja XII dapat kita temui di Makam Sisingamangaraja XII di Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara dan juga di Monumen Sisingamangaraja XII di Tarutung, Tapanuli Utara hingga bendera Sisingamangaraja XII yang ditemukan oleh Belanda di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII juga ditemukan lifepatch ketika menjalani residensi singkat di Belgia yang menjadi salah satu program Europalia Arts Festival 2017. Bendera tersebut memiliki detail yang sedikit berbeda dengan warna hitam yang terdapat di bagian atas bendera, serta tulisan - tulisan dalam aksara Batak di bendera tersebut. Bendera ini sekarang menjadi koleksi MAS di Antwerp Belgia.

Dalam penelitian lifepatch ke Sumatera Utara, Raja Tonggo yang merupakan keturunan dari Si Singamangaraja XII mengakui bahwa keluarga Raja juga memiliki Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII. Bendera tersebut masih disimpan oleh keluarga raja beserta dengan peninggalan Dinasti Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII lainnya. Namun dalam pertemuan dengan Lifepatch, Raja Tonggo menyebutkan bahwa tidak ada satupun barang pribadi Si Singamangaraja XII dimiliki oleh keluarga hingga saat ini. Barang pribadi milik Si Singamangaraja XII diyakini telah diambil oleh pihak Belanda pada waktu kematiannya di dusun Sindias, Parlilitan.

Kiri: Keluarga Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII memperlihatkan bendera asli Sisingamangaraja XII dalam peringatan wafatnya Sisingamangaraja XII yang ke-102 tahun di kediaman keluarga di Medan, Minggu (28/6/2010). Foto oleh Formatnews - Efendy naibaho. Kanan: Detail Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII

Berikut arti gambar - gambar dalam bendera sesuai dengan bendera kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII yang dimiliki oleh keluarga kerajaan Si Singamangaraja XII.

  • SSXII-001.png : warna putih menggambarkan "Partondi Hamalimon" yakni mengambarkan tetang agama (Beriman Suci).
  • SSXII-002.png : warna merah merah disebut "Parsinabul dihabonaran" adalah berarti menjunjung tinggi kebenaran, atau pembela keadialan dan kebenaran.
  • SSXII-003.png : disebut "Sirungnungi na dapot bubu" adalah pisau kembar menggambarkan keadilan sosial, juga melepaskan yang terpasung dan memerdekakan yang tertindas.
  • SSXII-004.png : bulat warna putih mengambarkan "Mataniari Sidompahon" adalah matahari yang tidak bisa ditentang yang menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja.
  • SSXII-005.png : delapan sudut ini mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa.

Selain bendera kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII yang dipamerkan secara permanen di Museum aan de Stroom (MAS) dengan identitas collection Number: AE.1922.0001.0824, terdapat beberapa bendera lain yang dipercaya merupakan artefak dari masa Si Singamangaraja XII dan dikoleksi oleh Museum aan de Stroom (MAS). Dalam hal ini, terdapat 4 bendera lain yang dipinjamkan oleh Museum aan de Stroom (MAS) kepada Lifepatch melalui Museum of Contemporary Art Antwerp (M HKA) untuk mendukung pameran berjudul IN SITU: Lifepatch – The Tale of Tiger and Lion di Museum of Contemporary Art Antwerp (M HKA) yang diselenggarakan pada 16 Sep 2017 - 7 Jan 2018. Empat bendera tersebut adalah sebagai berikut:

Malim
Penghayat Batak Toba dengan tongkatnya, diperkirakan di Samosir tahun 1935, dokumentasi dari KITLV

Ugamo Malim adalah agama asli yang dianut Bangso Batak sebelum agama Islam, Kristen dan Katolik dianut sebagian besar Batak Toba. Penganut Ugamo Malim disebut Parmalim, pimpinan tertinggi Ugamo Malim adalah Raja Sisingamangaraja I-XII. Saat ini Parmalim yang tersisa di Tano Batak hanya sekitar 10.000 orang. Ugamo Malim terpusat di Huta Tinggi, Laguboti Kabupaten Tobasa. Pimpinan Parmalim bernama Raja Marnangkok Naipospos, meneruskan kepemimpinan Raja Sisingamangaraja Sinambela XII.

Yang menarik adalah Ugamo Malim ini memiliki banyak kesamaan dan kemiripan dengan Agama Yahudi Kuno. Ugamo Malim telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh Leluhur Bangso Batak (30-35 generasi) berdasarkan Tarombo (Silsilah) yang dimiliki Bangso Batak, satu generasi sekitar 25 tahun.

Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu '[bulan] Pertama') serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.

Desa Naualu

Desa Naualu mempunyai arti sebagai penjuru dunia, atau delapan arah mata angin. Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa Batak dahulu telah mengenal delapan mata angin. Simbol Desa Naualu sering sekali dapat dijumpai pada Gorga di Rumah Adat Batak maupun artefak lainnya. Berikut delapan arah mata angin menurut Batak:

  • Purba disebelah Timur sebagai simbol dimulainya kegiatan kehidupan dibumi dimana Matahari mulai menampakkan sinar keemasan, maka terciptalah unsur ‘Emas’ mewakili arah mata angin ini.
  • Anggoni disebelah Tenggara, dimana matahari sudah naik condong ke arah yang menyinari bumi dengan warna yang lebih merah dari emas maka terciptalah unsur ‘Suasa’.
  • Dangsina diarah Selatan menggambarkan matahari sudah memancarkan sinar kehidupan berwarna terang benderang maka terciptalah unsur ‘Perak’.
  • Nariti disebelah Barat Daya menggambarkan suasana Matahari berada pada posisi hampir tegak lurus di atas kepala sehingga cahaya yang dipancarkan begitu terik yang akan menguji ketahanan bumi sehingga tanah menjadi ‘Batu’.
  • Pastima disebelah Barat menggambarkan posisi matahai berada tepat di atas kepala sehingga seluruh energi matahari secara penuh mengenai permukaan bumi yang mengakibatkan batu menjadi hitam, maka terciptalah ‘Timah’.
  • Manabia disebelah Barat Daya dipengaruhi oleh pergerakan matahari yang mulai condong ke arah terbenam sehingga sinar matahari perlahan akan mengurangi intensitasnya dan warna mulai menuju kemerahan redup, maka unsur bumi tercipta menjadi ‘Tembaga’.
  • Utara yang berada di arah Utara dipengaruhi oleh pergerakan sinar matahari yang semakin condong tenggelam, maka unsur bumi tercipta menjadi ‘Besi’.
  • Dan terakhir adalah Desa Irisanna di arah Timur laut dimana posisi matahari tinggal selangkah lagi untuk istirahat menghidupi bumi, maka unsur bumi tercipta menjadi ‘Kayu’.
Lagu "Aek Sibulbulon"


Sebuah lagu mengenai Si Singamangaraja XII yang diciptakan oleh Marco Sitompul. Lagu ini menceritakan kisah kematian Si Singamangaraja XII yang diceritakan turun temurun. Berikut lirik lagu tersebut beserta terjemahannya.
di aek sibulbulon i. (Di Aek Sibulbulon)
huta sionom huduon i. (Desa Si Onom Hudon)
disi do parlao ni oppu i. (Di situlah Oppu (Kakek = panggilan hormat untuk orang yang lebih tua, dalam hal ini Si Singamangaraja XII) itu pergi)
sisingamangaraja i. (Si Singamangaraja XII)

dihaol do boru na i. (Di peluk lah anak perempuannya
boru lopian nauli. (Putri Lopian yang cantik)
disii tarmudar oppu i. (Ketika itulah Oppu ternodai Darah)
subang naso halaosan i. (Pantangan yang tidak boleh dilanggar)

raja na sian bakkara. (Raja dari Bakkara)
raja namarsahala i. (Raja yang Kudus)
uju mangalo musu i. (Saat melawan musuh)
mulak tu nampunasa i. (Pulang ke sang Pemilik)

poda dohot tona na i. (Ajaran dan pesannya)
ikkon ingot di roha i. (Harus diingat dalam benak)
hita na tinadikkon na. (Kita yang ditinggalkannya)
taihuthon na nidok na i. (Kita ikuti yang dikatakannya)

pabolas sude hita disi. (Memperbolehkan kita semua disitu)
diparlao ni oppu ujui. (Kepergian Oppu kita dahulu)
taingot ma raja ta i. (Kita ingat lah Raja kita)
na humonghop di bangso na i. (Yang membela bangsanya)


Artefak Hans Christoffel

Dalam kunjungan penelitian ke Museum aan de Stroom di kota Antwerp - Belgium dan Bronbeek museum di kota Arnhem - Belanda, Lifepatch tidak banyak menemukan rekam jejak, dokumentasi sejarah, maupun artefak dari Hans Christoffel semenjak sang Kapten membakar berbagai buku harian dan catatan, foto dan laporannya sebagai penanda perubahan dalam filosofi hidup dan cara pandangannya terhadap masa lalunya. Namun, melalui bantuan rekam jejak dari registasi kemiliteran dalam Stamboek Officieren Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), beberapa foto diri Hans Christoffel, surat-surat telegram pelaporan dalam penugasan, dan The Eresabel sebagai satu-satunya artefak milik Hans Christoffel yang dimiliki oleh Bronbeek Museum, serta bantuan dari beberapa file rekaman digital surat kabar dan foto-foto tentang Hans Christoffel yang tersimpan dalam koleksi Museum aan de Stroom, dapat dilakukan reka ulang jejak sejarah yang telah dilalui oleh Hans Christoffel.

Stamboek van Officieren Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)

Stamboek Officieren Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) adalah dokumentasi berupa kumpulan registrasi dan catatan dari setiap perwira KNIL ketika bertugas di Hindia Belanda dan saat ini tersimpan secara digital di Bronbeek Museum. Stamboeken Officieren berisi tentang data-data seorang perwira selama bertugas, meliputi: masuk pertama kali menjadi seorang tentara kerajaan Belanda, relokasi dan penugasan, operasi militer yang diikuti, promosi jabatan, cedera, hingga saat berhenti dari pelayanan militer baik penghentian, pensiun maupun kematian yang terhormat. Selain rekam dokumentasi pelayanan dalam dunia militer, Stamboek Officieren juga berisi sejumlah data pribadi, seperti tempat kelahiran dan nama orang tuanya, nama pasangan, hingga nama anak.

Dalam penelitian lifepatch ke Bronbeek museum di kota Arnhem, Belanda, Stamboek Officieren Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) milik Hans Christoffel yang menjadi koleksi Bronbeek Museum menjadi salah satu artefak utama untuk merangkai narasi sejarah Hans Christoffel selama bertugas di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL), termasuk memberi rekam jejak berbagai penugasan yang dilakukan selama di Hindia Belanda, berbagai prestasi yang dicapainya, hingga persinggungannya dengan Si Singamangaraja XII.

Eresabel
The Eresabel, Pedang penghargaan yang diterima Hans Christoffel dari Ratu Wilhelmina. Pedang penghargaan militer tertinggi di Kerajaan Belanda ini sekarang menjadi koleksi Bronbeek Museum, Arnhem, Belanda (collection Number: 1961/08/31-1 - Courtesy of Bronbeek Museum)

The Eresabel adalah penghargaan tertinggi untuk keberanian dan prestasi seseorang dalam dunia militer kerajaan Belanda. Hanya para tentara dengan gelar Knights dalam jajaran Military Willems Order yang berhak menerimanya. Raja atau Ratu akan menghadiahkan pedang yang dihiasi ukiran pada bilah maupun sarungnya untuk selalu dikenakan bersamaan dengan seragam militer yang dimilikinya.

Hingga saat penelitian dilakukan oleh Lifepatch pada bulan September 2017, tercatat bahwa telah terdapat 106 buah Eresabel yang telah dianugerahkan pada para tentara pilihan dari Kerajaan Belanda dan salah satunya adalah Hans Christoffel.

Pada Eresabel milik Hans Christoffel terukir beberapa kalimat sebagai berikut:

  • pada sisi kanan: "KONINGIN WILHELMINA voor betoonde dapperheid"
  • pada sisi kiri: "FLORES 1907 EN 1908 KAPITEIN DER INFANTERIE H. CHRISTOFFEL"

Dalam penelitian lifepatch ke Bronbeek museum di kota Arnhem, Belanda, Eresabel milik Hans Christoffel adalah satu-satunya artefak peninggalan berupa benda pribadi milik Hans Christoffel yang masih tersimpan dengan baik dalam gudang penyimpanan Bronbeek museum hingga saat ini.

Hans Christoffel Dalam Pemberitaan Surat Kabar

Perang Tapanuli / Perang Batak (1878 - 1907)

Hans Christoffel (barisan belakang tanpa mengenakan topi) bersama keluarga Si Singamangaraja XII. Duduk dari Kiri ke Kanan 1. Boru Nadeak (Istri kedua Si Singamangaraja XII), 2. Boru Situmorang (Ibunda Si Singamangaraja XII), 3. Boru Sagala (Istri Si Singamangaraja XII), serta berdiri mengenakan baju putih adalah Ama ni Pulo Batu, sepupu dari ibunda Si Singamangaraja XII. Sumber: Leiden University Library
Pembaptisan keluarga Si Singamangaraja XII di Pea Raja

Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung, dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending, dengan tokoh penyebarnya Nommensen (orang Jerman). Raja Si Singamangaraja XIII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.

Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Si Singamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Si Singamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Si Singamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Si Singamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Si Singamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.

Referensi dan Pranala Luar

Pameran

Tano Toba Saga

Palais des Beaux-Arts (BOZAR) Brussels-Belgia

Tano Toba Saga adalah judul utama pameran yang dilakukan di Palais des Beaux-Arts (BOZAR) Brussels-Belgia. Dalam pameran tersebut, Lifepatch mencoba menghadirkan kembali fragmen-fragmen sejarah di Tano Toba (Tanah Toba) antara 1878 - 1907. Terutama berbagai sejarah yang terkait dengan Si Singamangaraja XII, Hans Christoffel, dan Ludwig Ingwer Nommensen. Dalam proses penyusunan desain pameran Tano Toba Saga, terdapat konsep desain yang dipilih berdasar berbagai temuan sebagai hasil riset yang dilakukan berdasar literatur dan kunjungan ke tempat-tempat yang terkait di Tanah Toba.

Konsep Dasar Desain Layout Pameran Tano Toba Saga

Konsep desain dari layout dan alur dalam Pameran Tano Toba Saga di ruang T4 Dalam Palais des Beaux-Arts (BOZAR) Brussels-Belgia