Biennale Jogja XVI - EQUATOR
Perhelatan seni budaya Biennale Jogja XVI - Equator #6 2021 Indonesia with Oceania akan dimulai pada Rabu, 6 Oktober 2021 sampai 14 November 2021. Jika menelisik pada web resminya, tema acara ini adalah Menengok Nusantara & Tentang Pasifik - Merangkum Khatulistiwa. Dalam kegiatan ini Rumah Lifepatch menjadi salah satu ruang kolektif yang sering menjadi tempat persinggahan sebagian panitia untuk nongkrong-nogkrong yang ujungnya menjadi bagian persiapan tim video, tim komunikasi, tim produksi, tim editorial dan para relawan. Selain itu Rumah Lifepatch juga menjadi nitra bagi Biennale Jogja 2021 yang menyediakan Ruang Mukim bagi seniman peserta Biennale Jogja - Equator #6 2021. Ada dua seniman (personal dan perwakilan kolektif) yang bermukim di Ruang Mukim di Rumah Lifepatch sejak sebelum kegiatan Biennale Jogja 2021 dimulai. Satu tim dari Pulau Madura dan seorang seniman lain datang dari Pulau Timor, Indonesia.
Ika Arista dari Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, IDN
Ika Arista, perempuan kelahiran Sumenep, 11 Mei 1990. Pendidikan terakhirnya Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP PGRI, Sumenep. Mbak Ika adalah seorang empu pembuat keris. Profesi empu keris jarang sekali disandang oleh seorang perempuan. Mbak Ika salah satu yang tercatat sejarah sebagai seorang empu keris. Dia punya cara pandang berbeda terkait identitasnya sebagai perempuan terhadap keris yang cenerung menjadi wilayah maskulin.
Keris adalah warisan budaya Indonesia yang pamornya diakui dunia. Bukan sekadar bilah besi yang mengandung mistik atau isian gaib, keris memiliki makna filosofi di balik pembuatannya. Bahkan, keris-keris buatan Ika Arista mengusung tema epos yang berusaha menutup retakan sejarah. Kesadaran pola pikir masyarakat itulah yang ingin diedukasi olehnya.
Lakoat.Kujawas dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pulau Timor, IND
Lakoat.Kujawas adalah komunitas warga di desa Taiftob, Mollo, Timor yang digagas Dicky Senda. Sejak tahun 2016 Lakoat.Kujawat aktif mengembangkan perpustakaan warga, kelas menulis kreatif, dan ruang arsip seni budaya masyarakat adat Mollo. Komunitas ini lahir sebagai respon dari keterbatasan akses pengetahuan lokal untuk generasi muda di Mollo. Lakoat (biwa) dan kujawas (jambu biji) adalah dua buah yang akrab dengan kehidupan anak-anak Mollo. Keduanya menggambarkan keceriaan, potensi, dan harapan yang tumbuh dari kampung-kampung di Mollo.
Dengan menggali pengetahuan tempatan, Lakoat.Kujawas membangun memori kolektif sebagai cara memberdayakan generasi muda dalam menghadapi permasalahan masa kini. Komunitas ini membuka program residensi setiap tahun untuk seniman, peneliti, arsitek, mahasiswa, atau pengajar. dari wilayah Indonesia maupun dunia.
Kerja pengarsipan pengetahuan lokal dilakukan lewat beberapa proyek seperti Mnahat Fe’u Gastronomi Tour, sekolah adat Skol Tamolok, kelas menulis kreatif To The Lighthouse dan menghasilkan presentasi berupa buku dan pameran seni. Lakoat.Kujawas juga bergerak dalam bidang kewirausahaan sosial, berupa perintisan homestay ekowisata serta produk lokal Mollo seperti kain tenun, kopi, madu, dan sambal lu’at organik. Mereka juga aktif mengumpulkan benih-benih pangan lokal, mendokumentasikan kuliner Mollo lewat arsip resep berupa narasi tutur.
Informasi di atas diambil dan disadur dari WEB Resmi Biennale Jogja XVI - Equator #6 2021
Informasi Pranala Luar