Intelligent Bacteria's HONF
Sebuah Essay untuk Intelligent Bacteria - Saccharomyces cerevisiae dari Krisna Murti, seniman dan penulis media baru Indonesia.
Intelligent Bacteria's HONF
Mengintervensi Sosial Via Fermentasi oleh: Krisna Murti
Artists functions is to take critical actions, find forms that could effectively convey its and innovative message in the contemporary cultures. (HONF statement on Intelligent Bacteria).
House of Natural Fiber (HONF) adalah komunitas seni kontemporer berlokasi di Yogyakarta (Indonesia), persis di tengah pulau Jawa. Kota Yogyakarta sendiri adalah salah satu pusat seni, dikelilingi warisan masa lampau yang gemilang serta kehidupan intelektual sebagaimana banyaknya perguruan tinggi berdiri di sana. Dibanding dengan komunitas serupa misalnya Forum Lenteng di Jakarta yang memfokuskan pada advokasi masyarakat urban, HONF berkonsentrasi pada eksperimentasi lintas disiplin, bahkan menyuruk hingga ke luar disiplin seni. Fenomena ini diametral dengan arus besar seni (rupa) kontemporer Indonesia yang berpusat di Jakarta, komersial dan berkutat di wacana politik visual (baca: lukisan).
Untuk memahami Intelligent Bacteria tidaklah memadai bila kita tidak memeriksa situasi sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Sejatinya, karya ini meletakkan sains dan teknologi sebagai media. Tetapi jelas ia merupakan respons terhadap situasi kontekstual yang hidup. Indonesia adalah negeri dengan ribuan pulau, ribuan etnik, ribuan bahasa; sebuah negeri tropis dengan garis pantai yang sangat panjang, berada di antara samudera Indonesia dan Pasifik. Ini menjadi salah satu alasan mengapa agama-agama besar – Hindu, Budha dan Islam - sejak ratusan hingga ribuan tahun silam bergerak dari negeri asalnya India dan jazirah Arab, menyeberangi lautan, mempengaruhi kelokalan, menularkan nilai-nilai spiritual, lalu membentuk kehidupan kemajemukan. Keberbedaan itu menjadi sempurna ketika para saudagar Portugis dan Belanda memperkenalkan ‘peradaban baru’ - berdagang rempah-rempah, pala hingga kopi – yang berujung pada kolonialisasi. Arus balik dekolonisasi kemudian merebak. Ini bukanlah sekadar bangkitnya nasionalisme, lalu demokrasi, tetapi meliputi retruksturisasi nilai-nilai dan kelembagaan lokal di tingkat masyarakat termasuk tegangannya. Di sisi lain terjadi kegamangan dalam membangun institusi modern di tingkat negara – riset ilmiah hingga birokrasi. Jelas ini menjadi penghalang kehidupan masyarakat untuk menuju ke depan.
Intelligent Bacteria seperti dikutip dari statement HONF bermula dari berita di mass media tentang matinya sejumlah orang setelah meminum minuman beralkohol buatan sendiri (di beberapa tempat di Indonesia). Secara langsung atau tidak ini terjadi setelah diluncurkannya peraturan baru Kementrian Keuangan yang menaikkan cukai minuman beralkohol. Harga minuman beralkoholpun membubung, lalu menggiring masyarakat beralih ke buatan sendiri. Sialnya, pengetahuan masyarakat dalam pembuatan minuman beralkohol begitu rendah sehingga yang dihasilkan justru metanol. Menurut para periset di departemen Mikrobiologi, Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), keberadaan metanol itu diakibatkan proses fermentasi yang ngawur dan tidak higienis. Alih-alih menyegarkan, metanol – yang dihasilkan dalam proses fermentasi - bila dikonsumsi terus menerus mengakibatkan buta bahkan kematian. (IB:SC).
Tidak hanya itu, bila kita periksa lebih rinci, Intelligent Bacteria sebetulnya juga menguji hubungan kebijakan sebuah negara dengan kehidupan sosio-kultural. Kelihatannya saja hanya bereksperimen dan menemukan formula jitu fermentasi. Aksi ini adalah penanda yang membubarkan konstruk bahwa minuman beralkohol harus mahal. Walhasil karya ini bisa berarti: mempertanyakan ulang politik perijinan yang secara ironis memberi keleluasaan produk minuman beralkohol impor, di sisi lain mempersempit produksi dan distribusi minuman tradisional misalnya tuak, arak, brem dan ciu yang sudah lama mengakar di wilayah Sumatera Utara, Bali, Manado, Papua dan pulau-pulau Indonesia Timur lainnya. Dengan perkataan lain, dengan fermentasi Intelligent Bacteria ancaman terhadap kelokalan bisa ditangkal. Pertanyaannya adalah mengapa Intelligent Bacteria seolah menjadi penyelamat?
Interdisipliner
Sebetulnya Intelligent Bacteria merupakan wujud kolaborasi interdisipliner antara kelompok seniman HONF dengan para ilmuwan dari bagian mikrobiologi Universitas Gadjah Mada. Kerja interdisipliner ini secara teori sejarah seni mengesampingkan karakter otonom objek seni ke sistem terbuka yang memberi kemungkinan sistem di luar estetika untuk menjawab kenyataan hidup yang aktual. Lihatlah, mereka mengumpulkan buah lokal seperti nangka, sirsak, aren dan salak, kemudian difermentasikan hingga menghasilkan produk (minuman) alkohol yang murah, aman dikonsumsi dan mudah diproduksi dalam skala rumahan. Seni sebagai sistem analisis ini jika ditelusur akarnya berada dalam nature dari sains – investigasi empirik Aristotelian – dan teknologi, yang intinya adalah pengorganisasian alat, teknik, sistem dan metoda untuk menjawab persoalan. Dan jelas ini suatu lompatan karena dalam pemahaman konvensional seni dibatasi dalam fungsi untuk menujukkan kenyataan semata.
Sebetulnya kerja interdisipliner ini bisa dirunut dalam sejarah gerakan “membongkar batas” atau “ melintas batas” sudah dimulai di tahun 1960-an. Kecenderungan dematerialisasi – bersumber dari ilmu fisika - ini ditandai dengan fenomena seniman pergi ke alam/lingkungan (Arte Povera) di sisi lain melakukan eksperimentasi sains dan teknologi (Fluxus dan Experiment in Art and technology/E.A.T). Hingga tahun 1970-an perdebatan tentang hubungan seni, sains dan teknologi berporos pada sisi kesamaan (kreatifitas) dan perbedaan (metoda dan tujuan). Keberbedaan kemudian menyurut, mengiringi aktifitas saling mengdopsi dan hibridisasi. Marga Bijvoet dalam “Art as Inquiry, Toward New Collaborations Between Art, Science and Technology” (Peter Lang Publishing, 1999) menggambarkan kerja kolaborasi itu sebagai “It intended to bring modern technological tools to the artist to facilitate experimentation with new art forms on the one hand, and bring fresh insights and viewpoints to the engineer on the other, in order to make technology more user-friendly as one would say today”. Terlihat bahwa ini bukanlah perkara kebaruan dan perluasan teritori disiplin semata tetapi lebih kepada tujuan bersama memperbaiki kehidupan masyarakat. Bijvoet selanjutnya menegaskan bahwa “The positive aspect in the exploration of new structures was directed to ideally include art and artist in a new social system".
Menghubungkan dengan pernyataan Bijvoet di atas, pada Intelligent Bacteria kita tidak akan menemukan objek seni kecuali formula yang berisi konsep dan teknologi fermentasi yang applicable. Sebuah sistem yang memberi solusi atas horor kematian manusia serta kerentanan birokrasi – politik perijinan - yang memicu persoalan sosial yang sistemik.
Fermentasi di negeri multikultur
Dari seluruh ide Intelligent Bacteria ini, yang paling mengagumkan – bagi saya - ialah memberi perhatian bagi kelompok-kelompok “kecil” non muslim – yang tersebar di Bali, Timor, Papua dan di sejumlah pulau lain - dengan cara menawarkan inovasi fermentasi yang tepat guna. Pilihan tema yang cerdas ini tentu secara paradoks berpotensi sensitif di tengah mayoritas muslim penduduk Indonesia yang tidak membolehkan – haram – mengonsumsi alkohol karena alasan memabukkan. Tetapi ini barangkali ini kekhawatiran tanpa alasan karena nyatanya karya ini mendapat sambutan publik ketika digelar di kota Yogyakarta, Jakarta dan Bandung belum lama berselang. Apapun itu, Intelligent Bacteria telah memberi sumbangan kultural di tengah-tengah rapuhnya nilai-nilai kelokalan, utamanya bila dihadapkan pada nasionalitas melalui teks dalam bentuk peraturan negara. Nilai kelokalan dengan publik dan teritori yang spesifik bisa berbanding terbalik dengan nasionalitas yang mengasumsikan sebuah nilai budaya yang berlaku di sebarang lokalitas. Paradoks ini bisa mengundang kerawanan, namun HONF justru tampil ‘meredamkan’. Intelligent Bacteria melalui inovasi fermentasinya tidak saja memastikan bahwa kelokalan tetap terawat di negeri multikutur, tetapi sekaligus memastikan bahwa nilai budaya sebuah negara tidak ditentukan oleh sebuah kekuasaan berdasarkan hitungan kuantitatif penduduk. Jelas proyek ini telah menginspirasi siapapun dan di negeri manapun di tengah-tengah dunia yang terus meng-global: keterbukaan. Bagi saya, karya ini begitu berharga karena dilahirkan di tengah-tengah kehidupan kontemporer yang masih dibayangi anarki primordialisme serta kesemrawutan penataan kelembagaan baru dalam skala lokal maupun di luar itu.
Krisna Murti, seniman dan penulis media baru. Pengajar tamu kajian media baru di Sekolah Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta (Indonesia).