Jinayah Siyasah

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Revision as of 22:28, 30 November 2014 by Yolandri (talk | contribs) (Created page with "Jinayah Siyasah adalah proyek seni berbasi situasi sosial politik di Indonesia terkait Islam. Jinayah Siyasah berasal dari Bahasa Arab; Jinayah berarti 'hukuman' dan Siyasah b...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Jump to navigation Jump to search

Jinayah Siyasah adalah proyek seni berbasi situasi sosial politik di Indonesia terkait Islam. Jinayah Siyasah berasal dari Bahasa Arab; Jinayah berarti 'hukuman' dan Siyasah berarti 'Taktik'. Jinayah Siyasah dipilih sebagai judul sebab dipandang merepresentasikan sensitivitas isu (sosial politik) terkait Islam yang diangkat oleh proyek ini dan bagaimana taktik proyek ini saat berhadapan dengan sensitivitas tersebut sehingga tidak terjebak hukuman dari perspektif Agama Islam.

Timeline yang menunjukkan pendirian Front Pendirian Islam (FPI) pada 1998 dan Front Betawi Rembug (FBR) pada 2001 serta beberapa sensor dan kekerasa yang mereka lakukan (sumber : Pengolahan Gagasan dan Ekspresi Seni Visual serta Media Alternatif dalam Konteks Keberagaman (1935-2011), IVAA (Indonesian Visual Art Archive): 2012
Contoh karya seni rupa kontemporer yang berbicara mengenai Islam
Yang dilingkari adalah Krapyak, yang bertitik merah adalah lembaga?kolektif seni di Yogyakarta (sumber: Yogyakarta Contemporary Art Map, Kedan Kebun Forum (KKF): 2014

Latar Belakang

Ada beberapa hal yang jadi latar belakang proyek ini. Pertama, 8% dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia beragama Islam (menurut Vedi Hadiz dalam A New Islamic Population and the Contradiction to Development). Ini membuat Indonesia jadi negara dengan populasi Islam terbesar di dunia yang terdir dari beragam kelompok. Kedua, setelah reformasi 198, terjadi beberapa sensor dan kekerasan atas nama agama, khususnya Islam. Misalnya, sensor yang dilakukan atas karya Pink and Swing Park milk Agus Suwage dan Davy Lingar pada 2005 dan penyerangan jemat Ahmadiyah di Cikeusik pada 2011. Ketiga, ada banyak karya seni rupa kontemporer yang berbicara mengenai Islam. Keempat, dalam konteks Yogyakarta sendiri, terdapat daerah Krapyak yang dikenal sebagai salah satu basis Islam dimana di sana terdapat pondok pesantren. Krapyak sendiri berdekatan pula dengan lembaga/kolektif seni (misalnya, Kedai Kebun Forum, Cemeti Art House, Langgeng Art Foundation, Ark Gallery, dll).

Terkait poin pertama dan kedua, terlihat bahwa situasi sosial politk di Indonesia yang berkaitan dengan Islam cukup penting untuk dibicarakan. Pun terkait laku sensor dan kekerasan oleh kelompok Islam tertentu, diperlukan sebuah penegasan bahwa wajah Islam di Indonesia itu beragam dan tidak semua kelompok Islam adalah pelaku kekerasan. Sedangkan, menyangkut poin ketiga dan kempat, hadir pertanyan ‘apakah karya seni rupa kontemporer yang berbicara tentang Islam tersebut dipersepsi secara luas oleh subyek yang dibicarakan?’ dan ‘apakah ada interaksi antara kelompok seni (khususnya di Yogyakarta) dengan kelompok Islam yang hidup berdekatan?’.Sejauh ini, berdasarkan pengamatan, karya-karya seni yang berbicara tentang Islam ditempatkan di galeri- galeri seni. Sebab jelas ada segmentasi pengunjung galeri seni, adalah sulit membayangkan kelompok-kelompok Islam melihat karya seni yang berbicara tentang mereka. Di titik ini, interaksi antara kedua kelompok kemungkinan besar sulit terbangun. Berangkat dari latar belakang tersebut, banyak hal menarik untuk dikaji bersama dan direspon dalam proyek ini. Misalnya, tentang laku sensor dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, ragam rupa Islam di Indonesia, sejarah yang dimilki masing-masing kelompok, laku keseharian kelompok- kelompok tersebut, proses peneriman kelompok Islam terhadap karya yang berbicara tentang mereka, pandangan kelompok Islam terhadap karya seni, pola interaksi yang terbangun antara seniman dan kelompok Islam serta proses perubahan nilai di kedua pihak yang mungkin terjadi selama proyek ini, dan sebagainya

Tujuan

  1. Memungkinkan karya seni rupa kontemporer berbicara lebih mendalam tentang wacana sosial politik terkait Islam serta laku hidup kelompok Islam.
  2. Memahami ragam rupa Islam di Indonesia.
  3. Menciptakan interaksi antara pegiat seni dan kelompok Islam yang hidup dalam atmosfer sosial yang berbeda.
  4. Menggoyahkan nilai-nilai yang ada di masing-masing kelompok.
  5. Menciptakan kemungkinan ruang dan penonton baru bagi seni rupa kontemporer.

Skema

Proyek ini akan dimulai dengan riset yang dilakukan oleh tim riset yang terdiri dari orang-orang yang bersala dari masing-masing kelompok Islam yang akan dilibatkan. Selain itu, ada 3 tahapan utama dalam proyek ini : Residensi seniman di Lingkungan Islam --> Pameran seni rupa dan diskusi di masjid --> Pameran arsip dan presentasi proyek di galeri seni

Residensi Seniman

3 seniman yang tergabung dalam proyek ini akan melakukan residensi ntensif. Residensi akan berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Residensi ini adalah proses riset untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu sosial politk terkait Islam, mendapatkan pemahaman tentang laku hidup kelompok- kelompok tersebut, menciptakan interaksi antara seniman dan kelompok-kelompok tersebut, dan untuk mengoyahkan nilai yang dimilki oleh masing-masing pihak. Dari proses residensi ni, seniman diharapkan menemukan materi bagi karya mereka. Masing-masing seniman akan ditempatkan di tiga kelompok yang berbeda. Masing-masing kelompok dipilh sebab dipandang cukup representatif bagi ragam rupa Islam di Indonesia pun bagi wacana sosial politk terkait Islam di Indonesia hari ini. Kelompok-kelompok yang dipilh, yaitu Kelompok Nahdlatul Ulama, organisasi Jamaah Shalahudin, dan Jemat Ahmadiyah. Khusus untuk Jemaat Ahmadiyah, di luar perdebatan teologis tentangnya (Islam atau tidak), dipilh sebab dipandang representatif untuk mengambarkan situasi sosial-politk Indonesia terkait isu minoritas. Pun hari ini, ketika berbicara tentang Islam di Indonesia dalam konteks sosial politk, adalah sulit untuk tidak membicarakan isu minoritas.

Pameran Seni Rupa

Karya seniman hasil dari residensi akan dipamerkan di lingkungan tiga masjid di Yogyakarta yang mewakil kelompok-kelompok tempat seniman melakukan residensinya masing-masing. Masjid-masjid tersebut adalah Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Masjid Pondok Pesantren Krapyak, dan Arief Rahman Hakim, masjid dan kantor jemat Ahmadiyah Yogyakarta. Pameran dan diskusi di lingkungan masjid ini selain sebagai upaya untuk menciptakan ruang dan penonton baru bagi seni rupa kontemporer, juga sebagai upaya untuk “memudahkan” kelompok-kelompok tersebut melihat dan memberi respon atas karya yang berbicara tentang mereka. Sebab mereka adalah subyek inspirasi karya, penting rasanya untuk mengetahui persepsi mereka atas karya-karya tersebut. Pameran dan diskusi akan diadakan pada 15 Januari 2015 - 25 Januari 2015.

Pameran Arsip

Dokumentasi proses residensi pameran seni rupa, diskusi di masjid, temuan-temuan yang didapatkan selama penelitan, dan karya seniman rencananya akan dipamerkan dalam sebuah pameran arsip di iCAN. Di pameran arsip ini juga akan diadakan presentasi proyek. Pameran arsip akan diadakan pada 1 Februari 2015 – 6 Februari 2015.

Seniman yang Terlibat

Octora Chan Dalam karya-karyanya, Octora banyak mengangkat tema terkait diskriminasi dan kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan minoritas. Tema yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai perempuan beretnis Cina. Di tahun 2011, Octora turut serta dalam Bienale Jogja IX. Karyanya dalam perhelatan tersebut adalah instalasi berjudul ‘God Exile’. Octora membuat semacam rumah dari kain dimana ia menaruh video di dalamnya. Lewat karyanya itu, Octora mempertanyakan konsep kesucian lewat penyelidikanya tentang tubuh manusia. Baginya, tubuh manusia memilki paradoks yang menarik. Misalnya, soal darah yang ada di dalam tubuh manusia. Terkait kekerasan, darah yang keluar dari tubuh manusia bisa berarti kematian. Tapi darah juga bisa berarti kehidupan, contohnya darah yang keluar dari tubuh perempuan sat melahirkan. Dalam kaitanya dengan agama, baginya menarik melihat bahwa manusia selalu mengaitkan darah yang mengalir dengan “nama Tuhan”. Misalnya, manusia mengangap hidup adalah pemberian Tuhan tapi di satu sisi manusia juga rela mati demi membela Tuhan. Pada 2012, Octora mengadakan pameran tungal berjudul ‘After Hapines’. Adalah latar belakangnya sebagai seorang perempuan beretnis Cina yang dieksplor oleh Octora dalam pameran ini. Narasi tentang menjadi perempuan Cina, misalnya, tampak dalam karyanya yang berjudul ‘Perceiving the Real Ladies Make Up’. Karyanya adalah cermin berdekorasi burung phoenix dan bertuliskan ayah, suami, putera. Dalam karya itu, Octora seolah ingin menyampaikan bahwa yang paling penting bagi perempuan Cina adalah ayah, suami, dan anaknya. Bahwa segala usaha untuk tampil baik adalah usaha untuk membangakan ketiganya. Tema yang nyaris serupa juga dalam karyanya yang berjudul ‘Aglolagnia #1’ dan ‘Aglolania #2’. Octora menampilkan rangka besi yang menyerupai kebaya encim. Rangka besi itu dimaksudkan Octora untuk menyampaikan bahwa tidaklah mudah bagi seorang perempuan ketika mengunakan kebaya. Ada rasa sakit yang mungkin didapatkan perempuan (apalagi seringkali perempuan juga harus mengunakan korset) demi mendapatkan penampilan yang menarik (dan tampak ramping). Di satu sisi, judul yang dipilh Octora, Aglolagnia, seolah ingin menyatakan bahwa meski merasakan rasa sakit sat mengunakan kebaya, perempuan juga bisa jadi mendapatkan kesenangan saat mendapatkan penampilan menarik dengan menggunakan kebaya.