Jinayah Siyasah

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Revision as of 23:56, 30 November 2014 by Andreas (talk | contribs)
Jump to navigation Jump to search
Timeline yang menunjukkan pendirian Front Pendirian Islam (FPI) pada 1998 dan Front Betawi Rembug (FBR) pada 2001 serta beberapa sensor dan kekerasa yang mereka lakukan (sumber : Pengolahan Gagasan dan Ekspresi Seni Visual serta Media Alternatif dalam Konteks Keberagaman (1935-2011), IVAA (Indonesian Visual Art Archive): 2012

Jinayah Siyasah adalah sebuah proyek seni berbasis situasi politik di Indonesia terkait Islam. Proyek ini berlangsung pada bulan November 2014 - Februari 2015. Selama bulan November dan Desember 2014, proyek ini menggunakan rumah Lifepatch sebagai kantor kerja tim produksi.

Deskripsi

Jinayah Siyasah adalah proyek seni berbasis situasi sosial politik di Indonesia terkait Islam. Jinayah Siyasah berasal dari Bahasa Arab; Jinayah berarti 'hukuman' dan Siyasah berarti 'Taktik'. Jinayah Siyasah dipilih sebagai judul sebab dipandang merepresentasikan sensitivitas isu (sosial politik) terkait Islam yang diangkat oleh proyek ini dan bagaimana taktik proyek ini saat berhadapan dengan sensitivitas tersebut sehingga tidak terjebak hukuman dari perspektif Agama Islam.

Latar Belakang

Contoh karya seni rupa kontemporer yang berbicara mengenai Islam

Ada beberapa hal yang jadi latar belakang proyek ini. Pertama, 8% dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia beragama Islam (menurut Vedi Hadiz dalam A New Islamic Population and the Contradiction to Development). Ini membuat Indonesia jadi negara dengan populasi Islam terbesar di dunia yang terdir dari beragam kelompok.

Kedua, setelah reformasi 198, terjadi beberapa sensor dan kekerasan atas nama agama, khususnya Islam. Misalnya, sensor yang dilakukan atas karya Pink and Swing Park milk Agus Suwage dan Davy Lingar pada 2005 dan penyerangan jemat Ahmadiyah di Cikeusik pada 2011. Ketiga, ada banyak karya seni rupa kontemporer yang berbicara mengenai Islam.

Keempat, dalam konteks Yogyakarta sendiri, terdapat daerah Krapyak yang dikenal sebagai salah satu basis Islam dimana di sana terdapat pondok pesantren. Krapyak sendiri berdekatan pula dengan lembaga/kolektif seni (misalnya, Kedai Kebun Forum, Cemeti Art House, Langgeng Art Foundation, Ark Gallery, dll).

Terkait poin pertama dan kedua, terlihat bahwa situasi sosial politk di Indonesia yang berkaitan dengan Islam cukup penting untuk dibicarakan. Pun terkait laku sensor dan kekerasan oleh kelompok Islam tertentu, diperlukan sebuah penegasan bahwa wajah Islam di Indonesia itu beragam dan tidak semua kelompok Islam adalah pelaku kekerasan. Sedangkan, menyangkut poin ketiga dan kempat, hadir pertanyan ‘apakah karya seni rupa kontemporer yang berbicara tentang Islam tersebut dipersepsi secara luas oleh subyek yang dibicarakan?’ dan ‘apakah ada interaksi antara kelompok seni (khususnya di Yogyakarta) dengan kelompok Islam yang hidup berdekatan?’.Sejauh ini, berdasarkan pengamatan, karya-karya seni yang berbicara tentang Islam ditempatkan di galeri- galeri seni. Sebab jelas ada segmentasi pengunjung galeri seni, adalah sulit membayangkan kelompok-kelompok Islam melihat karya seni yang berbicara tentang mereka. Di titik ini, interaksi antara kedua kelompok kemungkinan besar sulit terbangun.

Berangkat dari latar belakang tersebut, banyak hal menarik untuk dikaji bersama dan direspon dalam proyek ini. Misalnya, tentang laku sensor dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, ragam rupa Islam di Indonesia, sejarah yang dimilki masing-masing kelompok, laku keseharian kelompok- kelompok tersebut, proses peneriman kelompok Islam terhadap karya yang berbicara tentang mereka, pandangan kelompok Islam terhadap karya seni, pola interaksi yang terbangun antara seniman dan kelompok Islam serta proses perubahan nilai di kedua pihak yang mungkin terjadi selama proyek ini, dan sebagainya

Tujuan

Yang dilingkari adalah Krapyak, yang bertitik merah adalah lembaga?kolektif seni di Yogyakarta (sumber: Yogyakarta Contemporary Art Map, Kedan Kebun Forum (KKF): 2014
  1. Memungkinkan karya seni rupa kontemporer berbicara lebih mendalam tentang wacana sosial politik terkait Islam serta laku hidup kelompok Islam.
  2. Memahami ragam rupa Islam di Indonesia.
  3. Menciptakan interaksi antara pegiat seni dan kelompok Islam yang hidup dalam atmosfer sosial yang berbeda.
  4. Menggoyahkan nilai-nilai yang ada di masing-masing kelompok.
  5. Menciptakan kemungkinan ruang dan penonton baru bagi seni rupa kontemporer.

Skema

Proyek ini akan dimulai dengan riset yang dilakukan oleh tim riset yang terdiri dari orang-orang yang bersala dari masing-masing kelompok Islam yang akan dilibatkan. Selain itu, ada 3 tahapan utama dalam proyek ini : Residensi seniman di Lingkungan Islam --> Pameran seni rupa dan diskusi di masjid --> Pameran arsip dan presentasi proyek di galeri seni

Residensi Seniman

3 seniman yang tergabung dalam proyek ini akan melakukan residensi ntensif. Residensi akan berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Selama proses residensi ini, tim kerja proyek bekerja sama dengan Lifepatch untuk peminjaman ruang sebagai kantor tim kerja Jinayah Siyasah. Residensi ini adalah proses riset untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu sosial politk terkait Islam, mendapatkan pemahaman tentang laku hidup kelompok- kelompok tersebut, menciptakan interaksi antara seniman dan kelompok-kelompok tersebut, dan untuk mengoyahkan nilai yang dimilki oleh masing-masing pihak. Dari proses residensi ni, seniman diharapkan menemukan materi bagi karya mereka. Masing-masing seniman akan ditempatkan di tiga kelompok yang berbeda. Masing-masing kelompok dipilh sebab dipandang cukup representatif bagi ragam rupa Islam di Indonesia pun bagi wacana sosial politk terkait Islam di Indonesia hari ini. Kelompok-kelompok yang dipilh, yaitu Kelompok Nahdlatul Ulama, organisasi Jamaah Shalahudin, dan Jemat Ahmadiyah. Khusus untuk Jemaat Ahmadiyah, di luar perdebatan teologis tentangnya (Islam atau tidak), dipilh sebab dipandang representatif untuk mengambarkan situasi sosial-politk Indonesia terkait isu minoritas. Pun hari ini, ketika berbicara tentang Islam di Indonesia dalam konteks sosial politik, adalah sulit untuk tidak membicarakan isu minoritas.

Pameran Seni Rupa

Karya seniman hasil dari residensi akan dipamerkan di lingkungan tiga masjid di Yogyakarta yang mewakil kelompok-kelompok tempat seniman melakukan residensinya masing-masing. Masjid-masjid tersebut adalah Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Masjid Pondok Pesantren Krapyak, dan Arief Rahman Hakim, masjid dan kantor jemat Ahmadiyah Yogyakarta. Pameran dan diskusi di lingkungan masjid ini selain sebagai upaya untuk menciptakan ruang dan penonton baru bagi seni rupa kontemporer, juga sebagai upaya untuk “memudahkan” kelompok-kelompok tersebut melihat dan memberi respon atas karya yang berbicara tentang mereka. Sebab mereka adalah subyek inspirasi karya, penting rasanya untuk mengetahui persepsi mereka atas karya-karya tersebut. Pameran dan diskusi akan diadakan pada 15 Januari 2015 - 25 Januari 2015.

Pameran Arsip

Dokumentasi proses residensi pameran seni rupa, diskusi di masjid, temuan-temuan yang didapatkan selama penelitan, dan karya seniman rencananya akan dipamerkan dalam sebuah pameran arsip di iCAN. Di pameran arsip ini juga akan diadakan presentasi proyek. Pameran arsip akan diadakan pada 1 Februari 2015 – 6 Februari 2015.

Tentang iCAN

iCan (Indonesia Contemporary Art Network) bekerja untuk mendorong perbincangan lintas-disiplin antara seni rupa, bidang-bidang seni lainnya, dan ilmu pengetahuan melalui proyek kesenian, penelitian, dan pendidikan.

Program-program iCAN antara lain: 1)Wips! (Work in Progres): forum bulanan bagi seniman, kurator, penulis, atau peneliti untuk membagikan pengalaman dan masalah yang dihadapi selama proses pengerjan suatu proyek. 2) Penerbitan buku. Sejauh ini, iCAN telah menerbitkan beberapa buku dan kompilasi esai. iCAN juga melalukan kerjasama dengan lembaga, ruang seni, dan individu (misalnya seniman, penulis, dan peneliti) yang memiliki kesamaan visi dengan iCAN.

Seniman yang Terlibat

Octora Chan

Octora Chan
Instalasi 'God Exile'
'Perceiving the Real Ladies Make Up' dan 'Agloglania #2'
'The Heritage of Pain'

Dalam karya-karyanya, Octora banyak mengangkat tema terkait diskriminasi dan kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan minoritas. Tema yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai perempuan beretnis Cina.

Di tahun 2011, Octora turut serta dalam Bienale Jogja IX. Karyanya dalam perhelatan tersebut adalah instalasi berjudul ‘God Exile’. Octora membuat semacam rumah dari kain dimana ia menaruh video di dalamnya. Lewat karyanya itu, Octora mempertanyakan konsep kesucian lewat penyelidikanya tentang tubuh manusia. Baginya, tubuh manusia memilki paradoks yang menarik. Misalnya, soal darah yang ada di dalam tubuh manusia. Terkait kekerasan, darah yang keluar dari tubuh manusia bisa berarti kematian. Tapi darah juga bisa berarti kehidupan, contohnya darah yang keluar dari tubuh perempuan sat melahirkan. Dalam kaitanya dengan agama, baginya menarik melihat bahwa manusia selalu mengaitkan darah yang mengalir dengan “nama Tuhan”. Misalnya, manusia mengangap hidup adalah pemberian Tuhan tapi di satu sisi manusia juga rela mati demi membela Tuhan.

Pada 2012, Octora mengadakan pameran tungal berjudul ‘After Hapines’. Adalah latar belakangnya sebagai seorang perempuan beretnis Cina yang dieksplor oleh Octora dalam pameran ini. Narasi tentang menjadi perempuan Cina, misalnya, tampak dalam karyanya yang berjudul ‘Perceiving the Real Ladies Make Up’. Karyanya adalah cermin berdekorasi burung phoenix dan bertuliskan ayah, suami, putera. Dalam karya itu, Octora seolah ingin menyampaikan bahwa yang paling penting bagi perempuan Cina adalah ayah, suami, dan anaknya. Bahwa segala usaha untuk tampil baik adalah usaha untuk membangakan ketiganya. Tema yang nyaris serupa juga dalam karyanya yang berjudul ‘Aglolagnia #1’ dan ‘Aglolania #2’. Octora menampilkan rangka besi yang menyerupai kebaya encim. Rangka besi itu dimaksudkan Octora untuk menyampaikan bahwa tidaklah mudah bagi seorang perempuan ketika mengunakan kebaya. Ada rasa sakit yang mungkin didapatkan perempuan (apalagi seringkali perempuan juga harus mengunakan korset) demi mendapatkan penampilan yang menarik (dan tampak ramping). Di satu sisi, judul yang dipilh Octora, Aglolagnia, seolah ingin menyatakan bahwa meski merasakan rasa sakit sat mengunakan kebaya, perempuan juga bisa jadi mendapatkan kesenangan saat mendapatkan penampilan menarik dengan menggunakan kebaya.

Karya lainya adalah ‘The Heritage of Pain’. Di sini, Octora seolah ingin berbagi kenanganya tentang pemerkosan terhadap perempuan etnis Cina yang terjadi pada 198. Di karya berbentuk kebaya itu, Octora menulis kalimat-kalimat yang diambilnya dari berita tentang pemerkosan tersebut. ‘The Heritage of Pain’ juga bisa dilhat sebagai cara Octora membahas soal kebaya sebagai warisan budaya yang di satu sisi menimbulkan sakit di tubuh perempuan (seperti yang ia bicarakan di Aglolagnia #1 dan Aglolagnia #2).




















Wulang Sunu

Wulang Sunu
Beberapa karya Wulang Sunu yang dipamerkan di 'Unlock'

Wulang adalah seniman muda yang tergabung dalam Papermon Pupet Theatre. Sebab aktivitasnya di Papermon, karya-karya visual dari Wulang umumnya berbasis cerita. Dalam pameran tungalnya, ‘Unlock’, mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) Instiut Seni Indonesia (ISI) ini membuat video stop motion berdasar karya-karya drawing dan karya-karya tiga dimensinya. Video tersebut dipamerkan bersama dengan karya drawing dan karya dimensinya. ‘Unlock’ sendir adalah cerita tentang kehidupan seorang tukang pembuat kunci. Melihat ‘Unlock’ serasa membaca buku cerita anak-anak. Proyek kuratorial ini mengajak Wulang dengan mempertimbangkan karakter karyanya.

Dalam proyek ini, Wulang akan berkarya berdasar residensinya di Jamah Shalahudin. Proyek ini ngin melihat cerita seperti apa yang bisa diciptakan oleh Wulang berdasar hasil residensinya di organisasi tersebut, Menarik untuk melihat karya seperti apa yang bisa dihasilkan oleh Wulang setelah berinteraksi dengan angota Jamah Shalahudin yang berumur sepantaran denganya. Terlebih lagi, Wulang sendir tidak beragama Islam. Sepertinya menarik untuk melihat warna yang bisa diberikan oleh Wulang kepada proyek ini dengan melihat latar belakang dan karakter berkaryanya.















Riyan "Popo" Riyadi

Riyan 'POPO' Riyadi
Karya Popo yang dipamerkan di ARTE
Beberapa kartu ucapan selamat Idul Fitri dan Selamat Natal karya The Popo

Terlahir dengan nama Riyan Riyadi, seniman ini kemudian lebih dikenal dengan nama “the Popo”, karakter yang selalu muncul dalam karya-karyanya. Sebagai stret artist, karya-karya Popo bertebaran di tembok-tembok Jakarta dan sejumlah kota lainya. Pada tahun 2010, ia meraih penghargan the Best Mural Artist dalam Tembok Bomber Award. The Popo memilki karakter sederhana, penuh kritk dan menghibur serta manis. Selain sebagai seniman, Popo juga bekerja sebagai dosen tamu untuk mata kuliah komunikasi visual di ISIP (Instiut Ilmu Sosial dan Ilmu Politk), Jakarta. Di tahun 201, Popo mengadakan pameran tungalnya di RURU Galery.

Dalam pameran tungalnya, Popo berkarya dengan mengeksplor beragam medium (instalasi, foto, mainan, lukisan, dan sebagainya) selain dengan medium mural yang biasa dilakukanya. Pada tahun 2014, Popo jadi salah satu seniman yang diundang untuk berpartisipasi dalam pameran seni rupa di ARTE. Karya Popo dalam pameran ini adalah muraldengan lima ilustrasi yang menceritakan kehidupan seorang anak kecil bersama sang ayah yang selalu menjaga dan membimbingnya. Popo mendedikasikan mural ini kepada almarhum ayahnya.

Selain itu, Popo adalah seniman yang cukup sering membagikan karyanya secara gratis lewat media sosial. Misalnya, setiap Idul Fitri juga Natal, Popo membuat kartu ucapan elektronik yang disebarkan di akun-akun media sosialnya. Yang menarik, di banyak kartu ucapan selamat hari rayanya itu, Popo menyingung tema-tema tentang keberagaman dan toleransi beragama dengan cara yang menghibur. Dengan mempertimbangkan kecenderungan berkaryanya dan melihat adanya perhatian khusus yang diberikan oleh Popo terhadap isu keberagaman agama, proyek ini tertarik mengajak Popo untuk menghasilkan karya hasil dari residensinya di lingkungan pesantren Nahdlatul Ulama (NU).
















Profil Kurator

Sita Magfira

Sita Magfira Lahir di Palu, 17 April 1991. Semasa kuliah aktif di penerbitan kampus. Mendapat beberapa penghargan dalam lomba menulis, salah satunya finalis kompetisi esai mahasiswa ‘Menjadi Indonesia’ 2012 oleh Tempo Instiute. Perkenalanya dengan seni rupa bermula di tahun 2011 saat turut serta dalam workshop penulisan kritk seni rupa dan budaya visual yang diselengarakan oleh ruangrupa, Jakarta. Sejak 2013 beberapa kali bekerja sebagai project oficer di Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Dia juga terlibat dalam beberapa proyek penelitan, misalnya penelitan untuk Festival Equator Bienale Jogja XI, penelitan untuk Volunter in Asia (VIA) bekerjasama dengan Haverford Colege dan George Mason University, dan penelitan untuk ketjilbergerak (komunitas anak muda yang fokus pada pendidikan, seni, dan budaya). Pada 2014, dia jadi salah seorang dari 12 peserta workshop kurator muda yang diselengarakan oleh the Japan Foundation dengan Ade Darmawan dan Yukie Kamiya sebagai mentor. Dari workshop tersebut, dia, bersama 3 peserta lainnya, terpilih untuk mengikuti program residensi dan workshop lanjutan di Jepang.


Tim Kerja

  1. Periset : Fatimah Zahrah, Nabila Munsyariah, Raisa Kamila, Sita Magfira.
  2. Manajer Proyek : Amarawati Ayuningtyas, Yolandri Simanjuntak.
  3. Administrator : Marsianus Bathara.
  4. Dokumentator : Wahyu Gunawan, Adiwinanto Semali.

Referensi dan Link Eksternal