Octora Chan
Octora Chan adalah perupa dari Bandung yang menjadi salah satu seniman dalam proyek Jinayah Siyasah.
Biografi
Dalam karya-karyanya, Octora banyak mengangkat tema terkait sosial politik diskriminasi dan kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan minoritas.
Di tahun 2011, Octora turut serta dalam Biennale Jogja IX. Karyanya dalam Biennale itu adalah instalasi berjudul ‘God Exile’. Octora membuat semacam rumah dari kain dimana ia menaruh video di dalamnya. Lewat karyanya itu, Octora mempertanyakan konsep kesucian lewat penyelidikannya tentang tubuh manusia. Baginya, tubuh manusia memilki paradoks yang menarik. Misalnya, soal darah yang ada di dalam tubuh manusia. Terkait kekerasan, darah yang keluar dari tubuh manusia bisa berarti kematian. Tapi darah juga bisa berarti kehidupan, contohnya darah yang keluar dari tubuh perempuan saat melahirkan. Dalam kaitannya dengan agama, baginya menarik melihat bahwa manusia selalu mengaitkan darah yang mengalir dengan “nama Tuhan”. Misalnya, manusia menganggap hidup adalah pemberian Tuhan tapi di satu sisi manusia juga rela mati demi membela Tuhan.
Pada 2012, Octora mengadakan pameran tunggal berjudul ‘After Happiness’. Adalah latar belakangnya sebagai seorang perempuan beretnis Cina yang dieksplor oleh Octora dalam pameran ini. Narasi tentang menjadi perempuan Cina, misalnya, tampak dalam karyanya yang berjudul ‘Perceiving the Real Ladies Make Up’. Karyanya adalah cermin berdekorasi burung phoenix dan bertuliskan ayah, suami, putera. Dalam karya itu, Octora seolah ingin menyampaikan bahwa yang paling penting bagi perempuan Cina adalah ayah, suami, dan anaknya. Bahwa segala usaha untuk tampil baik adalah usaha untuk membanggakan ketiganya. Tema yang nyaris serupa juga dalam karyanya yang berjudul ‘Aglolagnia #1’ dan ‘Aglolania #2’. Octora menampilkan rangka besi yang menyerupai kebaya encim. Rangka besi itu dimaksudkan Octora untuk menyampaikan bahwa tidaklah mudah bagi seorang perempuan ketika mengunakan kebaya. Ada rasa sakit yang mungkin didapatkan perempuan (apalagi seringkali perempuan juga harus mengunakan korset) demi mendapatkan penampilan yang menarik (dan tampak ramping). Di satu sisi, judul yang dipilih Octora, Aglolagnia, seolah ingin menyatakan bahwa meski merasakan rasa sakit sat mengunakan kebaya, perempuan juga bisa jadi mendapatkan kesenangan saat mendapatkan penampilan menarik dengan menggunakan kebaya.
Karya lainya adalah ‘The Heritage of Pain’. Di sini, Octora seolah ingin berbagi kenangannya tentang pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina yang terjadi pada 1998. Di karya berbentuk kebaya itu, Octora menulis kalimat-kalimat yang diambilnya dari berita tentang pemerkosaan tersebut. ‘The Heritage of Pain’ juga bisa dilhat sebagai cara Octora membahas soal kebaya sebagai warisan budaya yang di satu sisi menimbulkan sakit di tubuh perempuan (seperti yang ia bicarakan di Aglolagnia #1 dan Aglolagnia #2).