Si Singamangaraja XII

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Jump to navigation Jump to search
Stempel Si Singamangaraja XII

Berikut adalah catatan dalam penelitian Lifepatch mengenai Si Singamangaraja XII.

Tokoh

Si Singamangaraja XII

Error creating thumbnail: File with dimensions greater than 12.5 MP
Tarombo Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII

Si Singamangaraja XII lahir di Bakara, 18 Februari 1845 dengan nama Patuan Bosar yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam.. Ia meninggal di Parlilitan, Dairi (sekarang termasuk dalam daerah kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara) pada tanggal 17 Juni 1907 (umur 62 tahun).

Pengangkatan Si Singamangaraja hanya dapat dilakukan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora melalui sebuah upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!


Hans Christoffel

Hans Christoffel, 1906
Hans Christoffel, Temenggoeng Silam - Geheugen van Nederland.png

Profil Hans Christoffel berdasar terjemahan bebas dari tulisan Willy Durinx (Co- Curator 'Collectie Christoffel' di Museum aan de Stroom (MAS) Antwerp, Belgium.)

Hans Christoffel lahir pada 13 September 1865 sebagai salah satu putra Johann Christoffel dan Kathrina Battaglia. Mereka tinggal di Rothenbrunnen, Kreis Trins, kanton Graubunden, Swiss.

Ketika terjadi kelangkaan sumber daya pertanian akibat sejumlah kemunduran ekonomi yang kemudian mendorong terjadinya migrasi keluar dari wilayah tempat tinggalnya, Hans Christoffel pergi ke Italia dan Jerman. Hingga kemudian timbul ketertarikan untuk berkarir di militer dan mempertimbangkan bergabung di salah satu kesatuan British India, yang akhirnya membawa Christoffel tiba di Kedutaan Besar Belanda di Hamburg dan bergabung sebagai tentara berpangkat private di “Koninklijk Nederlands Indisch Leger” atau “K.N.I.L.” (The Royal Dutch East Indies Army) pada bulan Februari 1885. Sebuah kesatuan yang dibentuk untuk "menenangkan" kondisi di the “Garland of Emeralds” (Untaian Emeralds), Hindia Belanda. Sebuah kesatuan Legiun Asing yang pada kenyataannya lebih dominan berisi bukan orang Eropa. Bahkan, jajaran kepangkatan rendah di kesatuan itu berisi orang-orang dari koloni-koloni "milik Belanda". Sebuah kesatuan yang memiliki strategi untuk menggunakan unit tentara yang berasal dari suatu pulau atau daerah tertentu untuk kemudian ditempatkan di pulau lain. Sedangkan persebaran asal dan tanah air para anggota kesatuan itu terbentang dari Belanda dan Belgia di sisi barat, Gold Coast Afrika, hingga kepulauan Maluku di sisi Timur.

Seiring dengan munculnya pergolakan dari kelompok nasionalis pada paruh kedua abad ke-19, yang meskipun pada awalnya tergolong jarang terjadi dan berada sangat jauh, hal ini menjadi sebuah ancaman serius bagi kelangsungan berbagai kepentingan dagang Belanda. Salah satunya di tempat yang dikenal sebagai “Kepulauan Rempah-Rempah”, sebuah koloni Belanda yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keberlangsungan ekonomi di negara Belanda. Kegemilangan aktivitas komersial yang terjalin sejak lama menjadi tersendat oleh masalah dalam negri yang terjadi di wilayah negara Belanda dan berbagai imbas dari pemisahan Belgia. Bahkan, perekonomian kepulauan rempah selama kuartal terakhir abad ke-19 dianggap cukup mengkawatirkan. Sebagian dari masalah tersebut adalah kebutuhan untuk mempertahankan keberlangsungan operasional tentara dan pejabat administratur di kepulauan rempah dalam menjalankan misi utama mereka untuk memastikan tidak ada gangguan pada aliran “Barang-barang Kolonial” ke Eropa.

Sebulan setelah penandatanganan kontrak kerja, Hans Christoffel berlayar dari Rotterdam ke Batavia, sekarang bernama Jakarta. Anggapan sebagai pria muda yang cerdas membuatnya ditugaskan melakukan pekerjaan administrasi di Surabaya pada tahun 1892. Pada saat yang sama, terjadi kerusuhan di Aceh, di pulau Sumatera. Hal yang membuat Christoffel mengajukan diri secara sukarela mengambil peran yang lebih aktif, sebuah awal yang tepat dan akhirnya menjadikannya memiliki karir luar biasa dan gemilang. Promosi datang secara berurutan, didorong oleh berbagai keberhasilan yang diraihnya dan telah menyita perhatian berbagai surat kabar Belanda pada masa itu. Tentara East Indian bertempur di beberapa kejadian yang sering disebut sebagai “perang” di Aceh dan kesemuanya berakhir pada kebuntuan. Aceh adalah pijakan awal perkembangan Islam di Nusantara meupakan wilayah yang cukup kaya untuk dikuasai. Terletak dekat Selat Malaka, Kesultanan bisa mendapatkan keuntungan berlimpah dari aktivitas lalu lintas maritim dari Cina ke Barat, dan mengekspor barang berharga seperti lada dan emas. Orang-orang Aceh menggunakan taktik gerilya atau hit-and-run pada tentara mereka yang dilatih untuk melawan gaya perang Eropa yang tertib dan sangat terikat pada perintah. Akibatnya, mereka sering terjebak pada medan pertempuran dengan kondisi geografis yang tidak mereka kenali. Christoffel masuk dan menjadi bagian dari “perang pasifikasi” yang ke-empat. Dari berpangkat Corporal menjadi Sergeant-Major, kemudian Warrant Officer maka petugas surat perintah sersan mayor, hingga Second Lieutenant dan menjadikannya tergabung dalam jajaran perwira di pasukan Jenderal Van Heutz. Dia ditugaskan di berbagai misi yang selama ini sangat sulit diselesaikan dan telah mengganggu pemerintahan Belanda selama satu dekade atau lebih. Pada titik ini, ia mendapatkan penghargaan untuk pertama kalinya, yang kemudian diikuti berbagai medali penghargaan lainnya. Pada tahun 1902, Christoffel ditugaskan untuk tergabung di unit “Maréchaussée”, sebuah unit khusus yang baru dibentuk dengan seragam khusus dan dilengkapi peralatan dari senjata lokal hingga senjata api terbaru Eropa yang bisa menembak berulang-ulang. Unit ini ternyata membawa hasil yang sangat gemilang di bawah komando Christoffel. Dia sangat populer dan terkenal karena cepat berpikir dan memiliki ketekunan. Meskipun dianggap pria kecil bersuara lembut dengan mata biru yang menusuk, ia menjadi semacam legenda dalam jajaran ketentaraan. Koran-koran Belanda mulai mengambilnya sebagai sumber berita. Pada tahun 1903 ia dipromosikan lagi menjadi Lieutenant dan menjadi orang non-Belanda pertama kali yang naik ke peringkat itu. Beberapa penugasan baru diterimanya. Dia menyelesaikan beberapa permasalahan di Kesultanan Aceh dengan menetralisir perjuangan Sultan dan komandannya Panglima Polem. Tugas lainnya adalah “pasifikasi” dari Alas hingga Gayo di wilayah Sumatera, sebuah wilayah perbukitan yang sulit dijangkau dan berada di antara kerajaan Aceh dan tanah Batak. Bersama dua ratus unit Maréchaussée, secara sistematis mereka memberantas semua perlawanan dari berbagai kampung yang hanya merupakan desa dengan diperkuat dinding pertahanan dari bambu. Penduduknya baik pria dan wanita mengenakan pakaian berkabung putih, berjuang melawan Maréchaussée hanya bersenjata busur, tombak, pedang pendek dan senapan lontak beramunisi bola timah dan mesiu yang diisi dari depan moncong laras senapan. Benar-benar diberantas dari pria, wanita, kadang-kadang anak-anak dan hingga hewan ternak. Komandan Christoffel, Van Daalen berkisah bahwa “Christoffel tetap terus menembak hingga lama meskipun saya telah memberi perintah untuk berhenti”. Akan tetapi, Christoffel tetap mendapatkan satu medali lagi. Dia secara luas ditakuti - sebagai bushranger sempurna yang lebih suka menyerang mangsanya dan menyelesaikannya dengan membunuh tanpa belas kasihan. Reputasinya sebagai berdarah dingin tersebar hingga berbagai pulau, dan eksploitasinya bagai sebuah festival hingga ke dalam rumah melalui berita dalam halaman surat kabar. Setiap langkah Christoffel dianggap sebuah berita. Dia dipuji sebagai “The Flying Swiss”, merujuk pada berbagai varian berita dari kepulauan nusantara. Di Kalimantan, ia ditugaskan sebagai kepala daerah. Tugas yang membuatnya memiliki julukan baru “Tiger dari Barito”, dan pangkat letnan sekembalinya ke Aceh. Dia terluka beberapa kali oleh belati perang, pedang pendek dan bedil yang pada saat itu Christoffel mulai memiliki gairah untuk mengkoleksinya. Jenderal Van Daalen sebenarnya karakter menyendiri dan kompleks yang dibenci penduduk pulau-pulau dan mengambil minat yang tulus dalam budaya mereka pada waktu yang sama. Dia mendesak petugas untuk belajar bahasa lokal dan mengumpulkan benda-benda yang menarik. Di antaranya adalah berbagai jenis pedang lokal dan belati, tetapi juga tekstil dan perhiasan. Banyak dari ini diambil dari medan perang, “disumbangkan bawah paksaan” dan kemudian dilelang antara tentara, atau lebih sering daripada tidak, hanya membeli. Namun demikian, pencurian tubuh adalah pelanggaran dihukum. Van Daalen mengirim benda terbaik ke museum di Batavia, surplus pergi ke museum di rumah. Pada akhirnya, ini adalah asal untuk kepentingan tumbuh di masyarakat Sumatera. Sebelumnya, hanya Jawa, Bali dan Lombok telah menerima kepentingan ilmiah. Pada 5 Agustus 1905 ia berangkat ke Eropa, liburan pertama pada tahun-tahun. Dia tinggal setahun di Belanda, Belgia dan Swiss. (Tulisan diambil dari W.Durinx, Koleksi Christoffel di Museum Aan de Stroom, Antwerp, Belgia)

Ludwig Ingwer Nommensen

Foto Ludwig Ingwer Nommensen tahun 1910, sumber Leiden University Library
Foto seorang Kepala Dusun dari Silindung, Batak, foto diperkirakan Raja Pontas Lumbantobing. Sumber: Leiden University Library

Ludwig Ingwer Nommensen (di daerah Batak dikenal sebagai Ingwer Ludwig Nommensen atau I.L. Nommensen; lahir di Nordstrand, Denmark (kini Jerman), 6 Februari 1834 – meninggal di Sigumpar, Toba Samosir, 23 Mei 1918 pada umur 84 tahun) adalah seorang penyebar agama Kristen Protestan di antara suku Batak, Sumatera Utara. yang berasal dari Jerman, tetapi lebih dikenal di Indonesia. Hasil dari pekerjaannya ialah berdirinya sebuah gereja terbesar di tengah-tengah suku bangsa Batak Toba yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Pada usia 20 tahun, Nommensen berangkat ke Barmen (sekarang Wuppertal) untuk melamar menjadi penginjil. Selama empat tahun ia belajar di seminari zending Lutheran Rheinische Missionsgesellschaft (RMG). Sesudah lulus, ia kemudian ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1861. Ia ditugaskan oleh RMG ke Sumatra dan tiba pada tanggal 14 Mei 1862 di Padang. Ia memulai misinya di Barus dengan harapan akan mendapatkan izin untuk menetap di daerah Toba. Namun, pemerintah kolonial tidak mengizinkan dengan alasan keamanan. Oleh sebab itu, ia bergabung dengan penginjil-penginjil lain yaitu misionaris Pdt. Heyni dan Pdt. Klammer yang telah berada di daerah Sipirok yang setelah Perang Padri dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. Di situ, sebagian dari penduduk sudah memeluk agama Islam sehingga kemajuannya lambat. Setelah berdiskusi dengan kedua misionaris ini, disepakati pembagian wilayah pelayanan, bahwa Nommensen akan bekerja di Silindung.

Kunjungan pertama ke Tarutung dilakukan pada 11 November 1863. Pada kunjungan pertama ini, Nommensen diterima oleh Ompu Pasang (Ompu Tunggul) kemudian tinggal di rumahnya yang daerahnya masuk dalam kekuasaan Raja Pontas Lumban Tobing. Dari sini Nommensen kemudian kembali ke Sipirok untuk mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan dalam pelayanannya.

Pada pertengahan tahun berikutnya, 1864, Nommensen dengan membawa semua perlengkapannya berangkat kembali ke Tarutung, dan tiba di Tarutung pada tanggal 7 Mei 1864. Nommensen kembali ke rumah Ompu Pasang (Ompu Tunggul), tetapi dia ditolak. Di Onan Sitahuru, Nomensen duduk dan merenung di bawah sebatang pohon beringin (hariara) untuk memikirkan apa yang akan dia perbuat. Nommensen lalu pergi ke desa lain dan sampai ke di desa Raja Aman Dari Lumban Tobing. Nommensen berharap Raja Aman Dari Lumbantobing dapat mengizinkannya tinggal di atas lumbung padinya. Akan tetapi Raja Aman Lumbantobing sedang pergi kedesa lain membawa isterinya yang sedang sakit keras. Melalui seorang utusan, Nommensen menyampaikan niatnya ini kepada Raja Aman Lumbantobing, akan tetapi Raja Aman Lumbantobing menolak. Nommensen kemudian meminta utusannya ini untuk kembali menemui Raja Aman Lumbantobing untuk kedua kalinya dengan pesan, “bahwa sekembalinya Raja Aman ke desanya, penyakit istrinya akan hilang”. Raja Aman kemudian berkata, apabila perkataan Nomensen itu benar, maka dia akan mengizinkan Nomensen tinggal dirumahnya. Penyakit istri Raja Aman sembuh. Raja Aman Lumbantobing kemudian mengizinkan Nomensen tinggal di rumahnya.

Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung. Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka. Pada awal tahun 1878, pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevell menuju Pearaja dan disambut oleh Nommensen. Antara Februari hingga Maret, 380 pasukan tambahan dan 100 narapidana didatangkan dari Sibolga. Februari 1878, ekspedisi militer untuk menumpaskan pasukan Singamangaraja dimulai. Penginjil Nommensen dan Simoneit mendampingi pasukan Belanda selama ekspedisi militer yang dikenal sebagai Perang Toba I. Keduanya menjadi penunjuk jalan dan penerjemah, serta malah dianggap ikut berperan dalam menentukan kampung-kampung mana yang akan dibakar. Sesudah ekspedisi militer berakhir, puluhan kampung, termasuk markas Singamangaraja di Bangkara dibumihanguskan. Atas jasa membantu pemerintah Belanda, pada 27 Desember 1878, Nommensen dan Simoneit menerima surat penghargaan dari pemerintah Belanda, ditambah uang tunai sebanyak 1000 gulden.

Lokasi dan Tempat

Bakkara

Bakkara, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, pada tahun 2017

Bakkara (Bakara) adalah nama sebuah wilayah di pinggiran baratdaya Danau Toba, dekat Muara dan dalam wilayah administratif Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Bakkara dibelah oleh dua aliran sungai besar yang berair deras. Sungai terbesar yang dominan adalah Aek Silang yang bersumber dari air terjun yang tercurah dari bentangan perbukitan. Sungai kedua yang lebih kecil bernama Aek Simangira. Keduanya mengaliri beberapa desa dan bermuara di Danau Toba.

Bakkara sendiri dikenal sebagai pusat Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja dan juga tempat lahirnya raja Si Singamangaraja. Di daerah ini masih dapat dijumpai tempat - tempat yang berkaitan erat dengan baik kisah maupun mitos Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja.

Istana Kerajaan
Tombak Sulu Sulu

Tombak Sulu Sulu adalah tempat kelahiran Si Singamangaraja I.

Sionom Hudon

Sionom Hudon merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Pada zaman Belanda, desa ini masuk keresidenan Tapanuli dengan ibu kota Sibolga distrik Barus Hulu (boven barus) pusat pemerintahan kota Barus. Di desa inilah Si Singamangaraja XII gugur dalam peperangan melawan Belanda. Beberapa peninggalan bersejarah masih dapat ditemui di desa ini, salah satunya adalah makam/tempat meninggalnya dan juga markas terakhir Si Singamangaraja XII.

Markas
Makam/Tempat Meninggal Si Singamangaraja XII
Aek Sibulbulon

Artefak

Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII

Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII yang digunakan dalam perang melawan Belanda. Bendera ini sekarang menjadi koleksi MAS Antwerp di Belgia

Bendera Kerajaan Dinasti Sisingamangaraja XII adalah bendera atau lambang yang digunakan oleh Si Singamangaraja XII pada masa kerajaannya di tanah batak. Menurut berbagai sumber, gambar bendera Si Singamangaraja XII dapat kita temui di Makam Sisingamangaraja XII di Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara dan juga di Monumen Sisingamangaraja XII di Tarutung, Tapanuli Utara hingga bendera Sisingamangaraja XII yang ditemukan oleh Belanda di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII juga ditemukan lifepatch ketika menjalani residensi singkat di Belgia yang menjadi salah satu program Europalia Arts Festival 2017. Bendera tersebut memiliki detail yang sedikit berbeda dengan warna hitam yang terdapat di bagian atas bendera, serta tulisan - tulisan dalam aksara Batak di bendera tersebut. Bendera ini sekarang menjadi koleksi MAS di Antwerp Belgia.

Dalam penelitian lifepatch ke Sumatera Utara, Raja Tonggo yang merupakan keturunan dari Si Singamangaraja XII mengakui bahwa keluarga Raja juga memiliki Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII. Bendera tersebut masih disimpan oleh keluarga raja beserta dengan peninggalan Dinasti Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII lainnya. Namun dalam pertemuan dengan Lifepatch, Raja Tonggo menyebutkan bahwa tidak ada satupun barang pribadi Si Singamangaraja XII dimiliki oleh keluarga hingga saat ini. Barang pribadi milik Si Singamangaraja XII diyakini telah diambil oleh pihak Belanda pada waktu kematiannya di dusun Sindias, Parlilitan.

Arti gambar-gambar dalam bendera
Kiri: Keluarga Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII memperlihatkan bendera asli Sisingamangaraja XII dalam peringatan wafatnya Sisingamangaraja XII yang ke-102 tahun di kediaman keluarga di Medan, Minggu (28/6/2010). Foto oleh Formatnews - Efendy naibaho. Kanan: Detail Bendera Kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII

Berikut arti gambar - gambar dalam bendera sesuai dengan bendera kerajaan Dinasti Si Singamangaraja XII yang dimiliki oleh keluarga kerajaan Si Singamangaraja XII.

  • SSXII-001.png : warna putih menggambarkan "Partondi Hamalimon" yakni mengambarkan tetang agama (Beriman Suci).
  • SSXII-002.png : warna merah merah disebut "Parsinabul dihabonaran" adalah berarti menjunjung tinggi kebenaran, atau pembela keadialan dan kebenaran.
  • SSXII-003.png : disebut "Sirungnungi na dapot bubu" adalah pisau kembar menggambarkan keadilan sosial, juga melepaskan yang terpasung dan memerdekakan yang tertindas.
  • SSXII-004.png : bulat warna putih mengambarkan "Mataniari Sidompahon" adalah matahari yang tidak bisa ditentang yang menggambarkan kekuasaan Sisingamangaraja.
  • SSXII-005.png : delapan sudut ini mengambarkan delapan penjuru angin (desa Naualu) dukungan dari delapan desa.
Malim
Penghayat Batak Toba dengan tongkatnya, diperkirakan di Samosir tahun 1935, dokumentasi dari KITLV

Ugamo Malim adalah agama asli yang dianut Bangso Batak sebelum agama Islam, Kristen dan Katolik dianut sebagian besar Batak Toba. Penganut Ugamo Malim disebut Parmalim, pimpinan tertinggi Ugamo Malim adalah Raja Sisingamangaraja I-XII. Saat ini Parmalim yang tersisa di Tano Batak hanya sekitar 10.000 orang. Ugamo Malim terpusat di Huta Tinggi, Laguboti Kabupaten Tobasa. Pimpinan Parmalim bernama Raja Marnangkok Naipospos, meneruskan kepemimpinan Raja Sisingamangaraja Sinambela XII.

Yang menarik adalah Ugamo Malim ini memiliki banyak kesamaan dan kemiripan dengan Agama Yahudi Kuno. Ugamo Malim telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh Leluhur Bangso Batak (30-35 generasi) berdasarkan Tarombo (Silsilah) yang dimiliki Bangso Batak, satu generasi sekitar 25 tahun.

Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu '[bulan] Pertama') serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.

Desa Naualu

Desa Naualu mempunyai arti sebagai penjuru dunia, atau delapan arah mata angin. Hal ini menjadi bukti bahwa bangsa Batak dahulu telah mengenal delapan mata angin. Simbol Desa Naualu sering sekali dapat dijumpai pada Gorga di Rumah Adat Batak maupun artefak lainnya. Berikut delapan arah mata angin menurut Batak:

  • Purba disebelah Timur sebagai simbol dimulainya kegiatan kehidupan dibumi dimana Matahari mulai menampakkan sinar keemasan, maka terciptalah unsur ‘Emas’ mewakili arah mata angin ini.
  • Anggoni disebelah Tenggara, dimana matahari sudah naik condong ke arah yang menyinari bumi dengan warna yang lebih merah dari emas maka terciptalah unsur ‘Suasa’.
  • Dangsina diarah Selatan menggambarkan matahari sudah memancarkan sinar kehidupan berwarna terang benderang maka terciptalah unsur ‘Perak’.
  • Nariti disebelah Barat Daya menggambarkan suasana Matahari berada pada posisi hampir tegak lurus di atas kepala sehingga cahaya yang dipancarkan begitu terik yang akan menguji ketahanan bumi sehingga tanah menjadi ‘Batu’.
  • Pastima disebelah Barat menggambarkan posisi matahai berada tepat di atas kepala sehingga seluruh energi matahari secara penuh mengenai permukaan bumi yang mengakibatkan batu menjadi hitam, maka terciptalah ‘Timah’.
  • Manabia disebelah Barat Daya dipengaruhi oleh pergerakan matahari yang mulai condong ke arah terbenam sehingga sinar matahari perlahan akan mengurangi intensitasnya dan warna mulai menuju kemerahan redup, maka unsur bumi tercipta menjadi ‘Tembaga’.
  • Utara yang berada di arah Utara dipengaruhi oleh pergerakan sinar matahari yang semakin condong tenggelam, maka unsur bumi tercipta menjadi ‘Besi’.
  • Dan terakhir adalah Desa Irisanna di arah Timur laut dimana posisi matahari tinggal selangkah lagi untuk istirahat menghidupi bumi, maka unsur bumi tercipta menjadi ‘Kayu’.

Lagu "Aek Sibulbulon"


Sebuah lagu mengenai Si Singamangaraja XII yang diciptakan oleh Marco Sitompul. Lagu ini menceritakan kisah kematian Si Singamangaraja XII yang diceritakan turun temurun. Berikut lirik lagu tersebut beserta terjemahannya.
di aek sibulbulon i. (Di Aek Sibulbulon)
huta sionom huduon i. (Desa Si Onom Hudon)
disi do parlao ni oppu i. (Di situlah Oppu (Kakek = panggilan hormat untuk orang yang lebih tua, dalam hal ini Si Singamangaraja XII) itu pergi)
sisingamangaraja i. (Si Singamangaraja XII)

dihaol do boru na i. (Di peluk lah anak perempuannya
boru lopian nauli. (Putri Lopian yang cantik)
disii tarmudar oppu i. (Ketika itulah Oppu ternodai Darah)
subang naso halaosan i. (Pantangan yang tidak boleh dilanggar)

raja na sian bakkara. (Raja dari Bakkara)
raja namarsahala i. (Raja yang Kudus)
uju mangalo musu i. (Saat melawan musuh)
mulak tu nampunasa i. (Pulang ke sang Pemilik)

poda dohot tona na i. (Ajaran dan pesannya)
ikkon ingot di roha i. (Harus diingat dalam benak)
hita na tinadikkon na. (Kita yang ditinggalkannya)
taihuthon na nidok na i. (Kita ikuti yang dikatakannya)

pabolas sude hita disi. (Memperbolehkan kita semua disitu)
diparlao ni oppu ujui. (Kepergian Oppu kita dahulu)
taingot ma raja ta i. (Kita ingat lah Raja kita)
na humonghop di bangso na i. (Yang membela bangsanya)

Perang Tapanuli / Perang Batak (1878 - 1907)

1907 - 18x13cm A 1st lieutenant of the KNIL (back row bareheaded) with a unit trooper with relatives Si Singamangaraja XII in Pasanggrahan to Siborongborong 02.jpg
Hans Christoffel (barisan belakang tanpa mengenakan topi) bersama keluarga Si Singamangaraja XII. Duduk dari Kiri ke Kanan 1. Boru Nadeak (Istri kedua Si Singamangaraja XII), 2. Boru Situmorang (Ibunda Si Singamangaraja XII), 3. Boru Sagala (Istri Si Singamangaraja XII), serta berdiri mengenakan baju putih adalah Ama ni Pulo Batu, sepupu dari ibunda Si Singamangaraja XII. Sumber: Leiden University Library
Pembaptisan keluarga Si Singamangaraja XII di Pea Raja

Perang meletus setelah Belanda menempatkan pasukannya di Tarutung, dengan tujuan untuk melindungi penyebar agama Kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending, dengan tokoh penyebarnya Nommensen (orang Jerman). Raja Si Singamangaraja XIII memutuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Tarutung. Perang berlangsung selama tujuh tahun di daerah Tapanuli Utara, seperti di Bahal Batu, Siborong-borong, Balige Laguboti dan Lumban Julu.

Pada tahun 1894, Belanda melancarkan serangan untuk menguasai Bakkara, pusat kedudukan dan pemerintahan Kerajaan Batak. Akibat penyerangan ini, Si Singamangaraja XII terpaksa pindah ke Dairi Pakpak. Pada tahun 1904, pasukan Belanda, dibawah pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah, melanjutkan gerakannya ke Tapanuli Utara, sedangkan di Medan didatangkan pasukan lain. Pada tahun 1907, Pasukan Marsose di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap Boru Sagala, istri Si Singamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu Si Singamangaraja XII dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke hutan Simsim. Ia menolak tawaran untuk menyerah, dan dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907, Si Singamangaraja XII gugur bersama dengan putrinya Lopian dan dua orang putranya Sutan Nagari dan Patuan Anggi. Gugurnya Si Singamangaraja XII menandai berakhirnya Perang Tapanuli.

Referensi dan Pranala Luar


Pameran

Tano Toba Saga

Palais des Beaux-Arts (BOZAR) Brussels-Belgia

Tano Toba Saga adalah judul utqmq pameran yang dilakukan di Palais des Beaux-Arts (BOZAR) Brussels-Belgia. Dalam pameran tersebut, Lifepatch mencoba menghadirkan kembali fragmen-fragmen sejarah di Tano Toba (Tanah Toba) antara 1878 - 1907. Terutama berbagai sejarah yang terkait dengan Si Singamangaraja XII, Hans Christoffel, dan Ludwig Ingwer Nommensen. Dalam proses penyusunan desain pameran Tano Toba Saga, terdapat konsep desain yang dipilih berdasar berbagai temuan sebagai hasil riset yang dilakukan berdasar literatur dan kunjungan ke tempat-tempat yang terkait di Tanah Toba.

Konsep Dasar Desain Layout Pameran Tano Toba Saga

Konsep desain dari layout dan alur dalam Pameran Tano Toba Saga di ruang T4 Dalam Palais des Beaux-Arts (BOZAR) Brussels-Belgia