Partisipasi Lifepatch dalam Gelaran Europalia Arts Festival 2017
Pada bulan Oktober 2017 hingga Januari 2018, Lifepatch turut serta dalam gelaran Europalia Arts Festival yang terpusat di Belgia. Dalam gelaran ini, Lifepatch menjadi salah satu seniman di pameran utama Power and Other Things yang diselenggarakan di Bozar, Brussels. Lifepatch juga mengadakan presentasi proyek tunggal di M HKA, Antwerp sebagai bagian dari kerjasama dengan AIR Antwerpen dan Museum Aan de Stroom (laporan tentang residensi di AIR Antwerpen bisa dilihat di sini).
Secara umum, karya Lifepatch di Power and Other Things serta proyek tunggal di M HKA berangkat dari riset utama tentang Sisingamangaraja XII. Tokoh tersebut jadi pintu masuk bagi Lifepatch untuk mengulik narasi yang terserak tentang kolonialisme Belanda di Sumatera Utara (khususnya di daerah Toba) beserta dampak-dampak-dampaknya. Kedua proyek ini diawali dengan riset singkat di museum Aan de Stroom, Antwerp, yang menyimpan berbagai koleksi artefak dari Indonesia (hibah dari Hans Christoffel) termasuk di antaranya beberapa pusaka dari Tanah Toba yang memiliki kaitan khusus dengan perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda. Setelah itu, Lifepatch melakukan riset lanjutan ke berbagai wilayah di Sumatera Utara (antara lain Medan, Balige, Bakkara, Laguboti, Parlilitan, Pangururan, dan sebagainya) untuk menggali narasi-narasi dari penduduk setempat tentang Sisingamangaraja XII, perlawanan bangsa Batak terhadap Belanda, Hans Christoffel, kaitan antara kolonialisme dan penginjilan (dengan Nommensen sebagai tokoh utama), mitos-mitos yang menyertai perang Batak, dan sebagainya. Tahap berikutnya adalah residensi di AIR Antwerpen yang fokus mengumpulkan narasi-narasi tentang Hans Christoffel.
Baik karya Lifepatch di Power and Other Things serta proyek tunggal di M HKA dimaksudkan bukan hanya untuk menampilkan berbagai narasi seputar kolonialisme Belanda di tanah Batak dan Perang Batak yang menyertainya tapi juga mempertentangkan narasi-narasi tersebut. Alih-alih bermaksud untuk merangkum sejarah panjang kolonialisme di tanah Batak, apalagi menunjukkan versi mana yang paling tepat, Lifepatch sebatas hendak menyatakan bahwa sejarah tidak pernah tunggal. Lebih dari itu, kedua proyek Lifepatch ini, khususnya lewat proses riset atas narasi-narasi yang terserak dan dihidupi oleh masyarakat di Sumatera Utara, bisa dilihat sebagai upaya untuk mempertanyakan narasi kolonialisme di tanah Batak yang sudah diterima umum dan/atau diproduksi oleh lembaga-lembaga mapan seperti museum.
Tana Toba Saga di Power and Other Things, Bozar, Brussels
Pameran ini berlangsung dari tanggal 18 Oktober – 21 Januari 2018. Dikuratori oleh Riksa Afiaty dan Charles Esche, Power and Other Things menampilkan berbagai seniman: Antariksa, Octora Chan, FX Harsono, Saleh Husein, Mella Jaarsma, Agung Kurniawan, Timoteus Anggawan Kusno, Lifepatch, Maryanto, Tom Nicholson, Nicolaas Pieneman, Raden Saleh, Emiria Sunassa, Sudjojono, Jan Toorop, Ana Torfs, Wendelien van Oldenborgh, Lidwien van de Ven, Roy Villevoye, dan Dea Widya.
Karya Lifepatch, berjudul Tana Toba Saga (Hikayat Tana Toba), berangkat dari gagasan tentang beragamnya narasi sejarah terkait kolonialisme di Toba, Sumatera Utara. Dalam pameran ini, Lifepatch menampilkan narasi-narasi yang berbeda tersebut dalam sebuah karya yang ditampilkan dalam ruangan menyerupai labirin. Labirin ini dimaksudkan sebagai simbol dari sejarah yang berputar –dan kadang kala membingungkan--. Di sisi luar labirin, Lifepatch menampilkan instalasi aroma, kartu pos, hologram, serta video. Semuanya mewakili narasi-narasi sebelum kedatangan Belanda di tanah Toba dan sesudahnya. Sedangkan di dalam labirin, Lifepatch menampilkan instalasi simbolisasi piso gadjah dompak dan tiga video. Keduanya mewakili masa kolonialisme Belanda di tanah Toba dan perlawanan bangsa Batak terhadapnya.
The Tale of Tiger and Lion, M HKA, Antwerp


Proyek tunggal Lifepatch di M HKA berjudul The Tale of Tiger and Lion (Hikayat Macan dan Singa). Pameran yang berlangsung dari 12 Oktober 2017 – Januari 2018 dikuratori oleh Nav Haq dan Alia Swastika. Jika Tana Toba Saga cenderung bersinggungan dengan narasi-narasi yang lebih luas seputar kolonialisme Belanda di Toba, The Tale of Tiger and Lion fokus pada dua tokoh utama di masa tersebut; Hans Christoffel dan Sisingamangaraja XII. Semasa tugasnya di Indonesia, Christoffel dikenal dengan regu macannya. Regu ini berhasil menumpas berbagai perlawanan terhadap Belanda di Indonesia, termasuk perang Batak yang berlangsung berpuluh tahun di bawah pimpinan Sisingamangaraja XII. Dalam misi Hans Christoffel dan regu macannya inilah Sisingamangaraja XII gugur di masa gerilyanya. Kematiannya sekaligus menandai berakhirnya perang Batak dan masuknya kekuasaan Belanda di wilayah tersebut.
Dalam The Tale of Tiger and Lion, Lifepatch merangkum kisah hidup Christoffel. Awal mula kehidupan personalnya, awal mula karier militernya, tugas militernya di Indonesia, masa-masa puncak kariernya (keberhasilannya menumpas perlawanan bangsa Batak termasuk di antaranya), pernikahannya dengan putri dari walikota Antwerp yang seorang pasifis (yang banyak mempengaruhi sikap politik Christoffel di kemudian hari), serta masa pensiunnya yang ia habiskan di Antwerp.
Selain itu, Lifepatch juga menampilkan narasi-narasi yang terserak tentang Sisingamangaraja XII. Kisah tentang kematian Sisingamangaraja XII dan anak-anaknya, cerita tentang anak perempuannya bernama Boru Lopian, rupa Sisingamangaraja XII yang tidak pernah terekam dalam foto, nilai dan kepercayaan yang masih dihidupi oleh orang-orang di Toba tentang Sisingamangaraja XII ditampilkan dalam berbagai karya. Artefak-artefak yang dihibahkan oleh Christoffel kepada museum etnografis Antwerp (yang kemudian melebur menjadi Museum Aan de Stroom) juga ikut ditampilkan dalam The Tale of Tiger and Lion. Empat bendera perang yang digunakan di masa perang Batak, sebuah tongkat yang umum dimiliki oleh pemimpin-imam Toba, dan sebuah lantaka (senjata yang umum digunakan oleh penduduk setempat untuk melawan Belanda) adalah artefak-artefak yang ditampilkan. Menyertai artefak-artefak tersebut, ada instalasi kartu pos yang berisi pesan-pesan masyarakat di Sumatera Utara, khususnya Toba, terkait keberadaan artefak-artefak warisan budaya mereka di museum-museum Barat.
Secara singkat, The Tale of Tiger and Lion, hendak menampilkan kerumitan sejarah kolonialisme Belanda di Toba lewat menghadirkan kisah-kisah tentang Sisingamangaraja XII dan perlawanannya dalam versi-versi yang bisa jadi berbeda dengan versi yang disampaikan oleh “pemenang”. Disampaikannya kisah Christoffel dan karier militernya secara kronologis sedangkan kisah terkait Sisingamangaraja XII dan perlawanannya dalam urutan yang acak juga dimaksudkan untuk menampilkan bagaimana sejarah disampaikan dalam konteks Barat dan Indonesia. Dalam struktur pengetahuan Barat, sejarah cenderung disampaikan secara linear dan fakta-fakta umumnya dihimpun berdasar sumber-sumber tertulis. Ini sedikit berbeda dengan bagaimana pengetahuan diproduksi dan disampaikan di Indonesia. Sejarah umumnya hadir secara acak lewat kisah-kisah yang kadangkala menyerupai fiksi.**