Artikel Meramu Pesan Kemanusiaan melalui Kolaborasi Teknologi
Sebuah artikel mengenai aktivitas Digital Design Weekend V&A Remix di Jakarta di situs Koran Jakarta. Artikel ini disalin ulang oleh Andreas Siagian pada tanggal 6 Desember 2016. Berikut isi artikel tersebut:
Di tangan seniman Inggris dan Indonesia, teknologi bukan sekedar alat canggih. Melalui terobosan, kecanggihan justru diramu menjadi pesan kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah terpikir para pegiat teknologi lainnya.
Kolaborasi seniman lintas negara ini, sebenarnya terkemas dalam satu program bertajuk Festival UK/Indonesia. Misi dari progam yang dihelat dua negara ini ialah untuk mendekatkan para seniman agar bisa saling mengenal, bertukar ide serta konsep seni yang mereka geluti, lalu diperuntukan sebagai ajang kolaborasi untuk meraih perhatian masyarakat luas.
Festival yang berlangsung di delapan kota di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Yogyakarta, Ubud, Medan dan Padang ini baru permulaan dari program UK/Indonesia 2016-2018, yang direncanakan akan berkelanjutan selama tiga tahun ke depan.
“Ini program jangka panjang, kita ingin seniman kedua negara saling berbagi dan berkolaborasi, dan mengenalkannya ke publik” ujar Adam Pushkin, Direktur Kesenian dan Industri Kreatif British Council Indonesia (BCI), baru-baru ini.
Untuk 2016, festival ini berlangsung cukup panjang, hampir tiga bulan lamanya, di mulai dari 18 Oktober hingga 10 Desember 2016. Rangkaian acara yang disajikan pun sangat menarik, bahkan terhitung inspiratif. Koran Jakarta menyambangi salah satu acaranya ialah gelaran Digital Design Weekend (DDW)yang dilangsungkan di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta.
Terinspirasi dari DDW yang diadakan setiap tahun di Museum V&A, London, Inggris. Acara ini juga menjadi ajang pamer karya yang dilangsungkan di beberapa lokasi seputaran Kota Tua Jakarta.
Peserta pameran dari Indonesia, Dholy Husada mengaku senang bisa bergabung dalam acara kolaborasi ini. Melalui bendera komunitasnya, Lifepatch, ia dengan dua orang temannya memamerkan hasil kreasi suara yang bernama 8 bit mixtape.
Produk canggih yang dikemas dari bahan baku sampah kaset ini, bisa dikatakan instrumen musik dengan karakter suara bising. “ Umumnya ini digunakan untuk musik-musik elektronik. Dengan mengaplikasikan 8 bit mixtape ini, kita bisa memperkaya suara sehingga makin unik terdengar,” jelas Dholy.
Namun di balik itu semua, sebenarnya instrumen ini tercipta dari hobi ngoprek benda-benda elektonik bekas. Komunitas ini pun terbuka luas bagi siapa yang ingin belajar membuatnya, bisa melalui workshop yang kerap digelar di markasnya di Yogyakarta. Atau bisa belajar sendiri dengan mengakses lifepatch.org. “Kami juga menyediakan tutorial bagaimana menciptakan instrumen ini secara gratis,” tandasnya.
Selain itu, ada juga terobosan yang dilakukan ThinkWeb, yaitu teknologi absensi masa depan yang menggunakan face detection. Melalui teknologi yang masih ditahap pengembangan ini, nantinya para pekerja bukan sekedar absen saja, namun teknologi ini mampu juga menampilkan umur, memprediksi perasaan sampai jenis kelamin seseorang.
Aruna Laksana, Project Manager ThinkWeb menuturkan sejauh ini tingkat akurasinya 80 persen. “Teknologi ini baru mau diaplikasikan terlebih dahulu di kantor kami saja, sejauh ini masih di tahap percobaan,” ucap Aruna.
Yang juga tidak kalah unik ada juga temuan Ghost Detector Prototype V1, yang digubah oleh tim Sparkly & Bear Homeschool. Alat ini pada pokoknya diperuntukan sebagai alat parenting atau mendidik anak supaya tidak takut kepada hantu. ima/R-1
Dukung Kiprah Seniman Disabilitas
Seniman disabilitas, dengan segala kekurangan yang dimiliki nyatanya juga memiliki potensi untuk menciptakan karya seni hebat. Di Inggris, para seniman disabilitas sudah bisa berkarya bebas. Bahkan mereka memiliki festival sendiri yang bernama unlimited festival.
“Yang menggagas festival ini seorang tuna runggu. Mereka sengaja mengumpulkan seniman disabilitas di seluruh dunia untuk tampil menunjukan hasil karyanya. Ada penari balet yang mampu tampil dengan kaki satu, ada yang mengenakan kursi roda namun mampu menyelam di laut dan lainlainnya.
Yang seperti ini belum begitu terdengar di Indonesia,” jelas Panji Pratama, Press Manager BCI. Jadi memang gelaran ini dimaksudkan untuk memperkenalkan keberadaan seniman disabilitas kepada masyarakat luas.
“Isu ini masih terbilang baru sebenarnya untuk di dalam negeri. Kita tidak mau terkesan ingin memanaskan kegiatan semacam itu harus ada di sini. Untuk sekarang, isu disabilitas kan masih terbatas pada akses-akses di ruang publik kan. Dan jika kita bahas lebih jauh, misalnya support untuk seniman disabilitas Indonesia, saya rasa mungkin belum ada.
Padahal senimannya itu ada, kemarin kami baru mengirimkan Hana Alfikih atau yang populer dengan panggilan Hanna ‘Madness’ ini ke acara Unlimited Festival 2016, ia merupakan visual artis dengan disabilitas mental ,” jelas Panji.
Apa yang terjadi di Indonesia, menurut Panji, persis seperti yang terjadi di Inggris 30 tahun silam. Dalam kurun waktu yang panjang itu, situasi ini coba diubah oleh kaum disabilitas.
“Puncaknya terjadi waktu diadakannya gelaran olimpiade paralimpik atau ajang olahraga bagi atlet penyandang disabilitas pada 1948 di Inggris. Keadaan itu berhasil mereka ubah, seniman disabilitas berhasil tampil dengan memanfaatkan momentum emas tersebut,” pungkas Panji. ima/R-1
Meningkatkan Rasa Empati
Pada acara ini juga digelar pertunjukan yang mampu memberi pengalaman menjadi kaum disabilitas. Melalui pemanfaatan teknologi Virtual Reality (VR) dan film berdurasi singkat berjudul Notes on Blindness karya Peter Middleton dan James Spinney, yang mengisahkan kehidupan Profesor John Hulley ketika mulai mengalami kebutaan.
Dan juga karya realitas visual, berjudul In My Shoes: Dancing with Myself yang menggabungkan film, teater, teknologi dan empati untuk menyelami pengalaman Jane Gauntlet, sebagai penderita epilepsi.
Karya ini bahkan juga pernah diaplikasikan di sekolah, universitas, tempat pelatihan medis untuk mengedukasi dan melihat perspektif lain dari kerusakan organ otak. Diharapkan melalui pengalaman virtual di ajang DDW dapat menggugah perspektif awam, mengenai kondisi kaum disabilitas secara nyata.
Lisvi Fadlillah (25) yang saat itu menjajal menjadi seseorang penderita epilepsi secara virtual, menceritakan saat mengenakan VR saya seolah berada di sebuah restoran. Seperti orang biasa saja awalnya yang sedang santai menikmati suasana.
“Tetapi kemudian, saya merasa pandangan mata kabur perlahan-lahan, tiba-tiba hitam semuanya dan membuat orang-orang di sekitar panik. Saat sadar banyak orang yang melihat saya dengan takut. Saya pun merasa cukup tegang saat itu, dan mungkin ini rasanya mengalami epilepsi,” cerita Lisvi. ima/R-1
Artikel ini dapat dilihat di tautan luar berikut.