Duwet Wine Berbasis Media Art

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Jump to navigation Jump to search
Klipping artikel Koran Tempo tanggal 5 November 2012 berjudul Duwet Wine Berbasis Media Art. Artikel ini ditulis oleh Pito Agustin Rudiana dan foto oleh Suryo Wibowo

Sebuah artikel berjudul "Duwet Wine Berbasis Media Art" yang diterbitkan oleh Koran Tempo pada tanggal 5 November 2012. Artikel ini ditulis oleh Pito Agustin Rudiana dan foto didalam artikel tersebut diambil oleh Suryo Wibowo.

Berikut kutipan artikel asli yang dimuat di Koran Tempo edisi cetak.

Duwet Wine Berbasis Media Art

  • Teks oleh Pito Agustin Rudiana
  • Foto oleh Suryo Wibowo

Seni tidak hanya memanfaatkan indra mata dan telinga, tapi juga melibatkan lidah dan penciuman.

Ingin minum wine tapi duit cekak bukan soal bagi Agus Tri Budiarto alias Timbil, 41 tahun. Dia bersama Andreas Siagian alias Ucok, 29 tahun, dan Nur Akbar Arofatullah, 25 tahun, bisa menyulap aneka buah menjadi minuman beralkohol aneka rasa. Fruit wine, begitulah mereka menyebutnya. Sebab, minuman itu berasal dari aneka buah tapi rasanya laksana anggur. Buah yang digunakan pun buah-buahan lokal, seperti salak, sawo, jamblang alias duwet (juwet) bahkan jahe. Siapa pun bisa membuat minuman ini.

Tiga orang ini tergabung dalam Lifepatch, yang baru berdiri pada 26 Maret lalu, yakni sebuah organisasi independen berbasis komunitas yang bekerja dalam aplikasi kreatif dan tepat guna di bidang seni, sains dan teknologi. "Kami membagikan ilmu yang kami peroleh kepada masyarakat melalui berbagai workshop," kata Timbil dalam [[Presentasi Lifepatch di IVAA | presentasi Lifepatch di Rumah IVAA di Jalan Ireda, Yogyakarta, Jumat petang lalu]].

Menurut Timbil, sudah ada 11 macam buah yang mereka jadikan fruit wine. Sebelas macam buah itu telah menghasilkan 35 macam ragi. Itulah aplikasi kreatif di bidang sains yang telah mereka hasilkan. Proses pembuatannya menggunakan teknologi fermentasi dengan menggunakan ragi. Jenis ragi yang digunakan pun merupakan hasil isolasi buah nangka yang telah digarap dalam laboratorium bersama antara Lifepatch dan Komunitas Laboraotium Mikrobiologi Universitas Gadjah Mada.

Dalam presentasi yang menggunakan audio-visual pada petang lalu itu, mereka menjelaskan bagaimana buah-buahan itu dikupas dan dipotong kecil-kecil. Potongan buah itu direbus hingga menghasilkan sari. Hasil tersebut didinginkan dengan temperatur dibawah 40 derajat Celcius. Sari buah itu lalu ditampung dalam botol kosong yang diberi ragi, yang akan mengubah kandungan gula menjadi alkohol dan CO2.

Botol kemudian ditutup, disegel rapat, dan diberi selang kecil yang dihubungkan dengan disinfektan pada botol terpisah. Tujuannya adalah mensterilkan peredaran CO2 yang dihasilkan sehingga tidak ada mikroorganisme lain yang dapat mengkontaminasi proses fermentasi pada botol yang berisi sari buah itu. Diperlukan waktu minimal dua pekan agar mereka bisa menikmati fruit wine karya sendiri.

Lantas, apa yang mereka harapkan dari komunitas seni yang hadir di Rumah IVAA pada petang lalu itu? "Ini memang bagian dari ilmu pengetahuan berbasis teknologi. Tapi jangan salah, bahwa proses pembuatan fruit wine itu sendiri adalah proses berkesenian," kata Timbil.

Jika menilik pada penampilan, boleh lah Timbil mirip seniman lantaran rambutnya dibiarkan gondrong. Mereka tak punya api dasar pendidikan formal di bidang seni. Timbil adalah lulusan Fakultas Pertanian dan Ucok dari Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada. Akbar yang terlihat berpenampilan serius dengan kaca mata dan rambut pendeknya justru memiliki hobi melakukan workshop, pelatihan, serta penelitian. Dia kini tengah merampungkan pendidikan S-2 Bioteknologi di UGM. "Ini bagian dari media art yang kalau orang Indonesia menyebutnya new media art. Padahal sudah enggak baru lagi," kata Timbil.

Rangka seninya pun menampilkan gelas-gelas laboratorium aneka bentuk. Lalu mereka menuangkan hasil fermentasinya yang berupa fruit wine aneka warna dan rasa. Tak ketinggalan selang kecil yang menghubungkan botol berisi sari buah dengan botol disinfektan. Kemasan botol-botol aneka ukuran itu pun mirip karya instalasi. "Seni kan tidak hanya memanfaatkan indra mata dan telinga saja, tapi lidah dan penciuman juga," kata Irfan Dwidya Prijambada, seorang profesor bidang mikrobiologi UGM, yang membimbing mereka selama ini.

Irfan pun mencontohkan, seni membuat kopi itu bisa dinilai saat dirasakan dengan lidah. Namun diakui Irfan bahwa bermain-main dengan aneka eksperimen liar dari Lifepatch sangat menyenangkan. Sebab mereka bereksperimen yang lepas dari hal-hal formal perkuliahan. Bahkan mereka menghasilkan produk fruit wine aneka rasa. Fruit wine dari salak dan duwet memiliki rasa yang enak. Bahkan rasa fruit wine dari duwet mirip wine sebenarnya, dari anggur. "Tapi kalau yang dari nangka itu pesing. Rambutan kacau, keras sekali rasanya. Terus, jahe saat difermentasi malah rasanya panas enggak karu-karuan," kata Irfan, yang membuat peserta presentasi tergelak.

Bahkan karya-karya media art itu bisa menghasilkan bunyi-bunyian mirip gelembung. Bunyi itu muncul saat CO2 keluar dari botol berisi air. "Muncullah bunyi seperti orang glegekkan (sendawa)," kata Ucok.

Sudah cukup banyak eksperimen yang mereka lakukan. Selain fruit wine, ada yoghurt dan biofuel dari daun salam. Tak ada niat Lifepatch mematenkan produk-produk eksperimennya. Mereka lebih senang membagikan ilmunya kepada masyarakat agar bermanfaat. Harapannya, masyarakat sendiri yang bisa mengembangkan dan menggunakannya untuk meningkatkan perekonomian keluarga.