Klab Baca: Fokus Kajian Gender, Rumah Lifepatch, 20-22 Januari 2018

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Jump to navigation Jump to search

Deskripsi Acara

Sarah.jpg

Pada tanggal 20 – 22 Januari 2018, diadakan Klab Baca dengan Kajian Gender sebagai fokusnya di rumah Lifepatch. Kelas baca ini sendiri diinisiasi oleh tim program Sarinah, Apa Kabarmu? yang terdiri dari Ferial Afiff, Amarawati Ayuningtyas, Ope’e Wardany, Agung Geger, dan Sita Magfira. Selama tiga hari, kelimanya bergiliran membagikan isi dari buku bacaan masing-masing. Anggota Lifepatch dan beberapa individu lain bergantian berpartisipasi sebagai pendengar dan teman diskusi dalam sesi klab baca tersebut. Tiap orang membaca buku yang berbeda-beda dengan persoalan gender sebagai benang merah dari buku-buku tersebut.

Sesi klab baca ini sendiri dilakukan sebagai awalan dari program Sarinah, Apa Kabarmu? Klab baca ini akan diikuti oleh seri kuliah gender, studi pustaka, dan penelitian lapangan tentang sistem matriarkat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara umum, klab baca merupakan bagian dari pembekalan mengenai wacana gender sebelum proyek ini bergulir ke tahapan selanjutnya. Lewat klab baca ini masing-masing diharapkan jadi lebih dekat dan mampu memahami persoalan-persoalan umum terkait gender sebelum menelaah detil-detil yang lebih kompleks dari isu tersebut di seri kuliah, studi pustaka, dan penelitian lapangan.

Meski dilangsungkan secara tertutup, gambaran umum dari bahasan Klab Baca: Fokus Kajian Gender tersebut bisa didapatkan lewat rangkuman di bawah ini.

Rangkuman Klab Baca: Fokus Kajian Gender

Hari Pertama

Buku: Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial oleh Katrin Bandel. Pembaca: Ope’e Wardany

Salah satu hal menarik yang dibahas oleh buku ini adalah konsep mengenai wacana pascakolonial. Katrin Bandel menyinggung soal studi pascakolonial dan dampak kolonialisme di wilayah-wilayah bekas jajahan Eropa. Bandel menyatakan bahwa modernitas merupakan akibat dari wacana kolonial. Feminisme, sebagai bagian dari modernitas, menurutnya mau tidak mau pasti terkontaminasi oleh ‘wacana kolonial’. Terkait dengan hal tersebut, Bandel menyatakan langkah-langkah yang harus diambil. Pertama, menurutnya, konsep gender yang diasumsikan bersifat universalis dan eurosentris harus dikoreksi. Kedua, harus ada konsep baru yang diperkenalkan lewat kajian pascakolonial terkait dengan ‘gender order’. Konsep ini nantinya dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengartikulasikan relasi gender dan sebab dari ketimpangan gender demi mengatasi ketegangan klaim yang muncul lewat artikulasi yang didominasi oleh pengetahuan ‘barat’.

Konsep gender order yang sampaikan oleh Bandel sendiri menempatkan posisi dalam relasi gender secara dinamis dan terkait dengan relasi kekuasaan yang berlaku di suatu konteks sosial yang spesifik. Konteks sosial yang spesifik ini ditekankan oleh Bandel sebab pandangannya bahwa feminisme sebagai suatu wacana dan praktik pengetahuan untuk memperjuangkan kesetaraan tidak jarang dipengaruhi oleh kuasa pengetahuan Barat yang memposisikan dirinya lebih tercerahkan dan karenanya memaksakan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan menurut ukuran-ukuran Barat. Bandel sering menyebut tentang pandangan Barat terhadap perempuan Islam sebagai contoh. Misalnya, tentang jilbab yang tidak melulu mewakili kekuasaan patriarki seperti dipandang oleh feminis Barat pada umumnya.

Katrin Bandel.jpg

Secara khusus Bandel juga menyebut soal wacana terkait LGBT. Ia menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia, jika merunut sejarah dalam kebudayaan di berbagai masyarakat Indonesia, seksualitas itu sifatnya cair. Bandel juga membagikan kisah seorang gay Australia yang menyatakan bahwa Indonesia masih sangat terbuka terhadap interaksi intim sesama jenis. Orang Indonesia tidak akan merasa risih jika melihat sesama laki-laki berpelukan saat bertemu atau berpisah, misalnya. Hal itu menurutnya susah terjadi dalam konteks masyarakat Australia. Lebih lanjut, dalam bab akhir bukunya, Bandel lebih banyak berbagi narasi personalnya. Bandel adalah seorang Jerman kulit putih yang hidup di Indonesia sekaligus merupakan seorang mualaf. Bandel membagi pengalamannya sebagai seseorang yang mengalami berbagai budaya dan identitas. Misalnya, tentang pengalaman Bandel ke sebuah toko buku di Jerman. Di sana, ia hendak mencari buku tentang Islam sebagai pembelajaran. Namun, buku tentang Islam yang dia temukan di sana sebagian besar justru mengaitkan Islam dengan terorisme. Secara umum, bab tersebut berisi refleksi Bandel tentang kesadarannya sebagai seseorang dengan identitas dan latar belakang budaya tertentu dalam kaitannya dengan relasi gender.

Hari Kedua

Buku: Sarinah Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia oleh Ir. Sukarno. Pembaca: Agung Geger

Sukarno menulis Sarinah sebagai rasa hormatnya terhadap proletar. Buku ini merupakan penghormatan Sukarno kepada perempuan, khususnya yang berasal dari kalangan ekonomi bawah. Sukarno merujuk kepada perempuan yang masuk dalam golongan Marhaenisme. Sarinah sendiri merupakan pembatu yang mengasuh Sukarno sejak kecil. Sarinah, bagi Sukarno, merupakan pengganti ibunya. Sarinah ditulis oleh Sukarno pada tahun 1943, sebelum ia menjadi presiden dan masih menjadi aktivis dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Di bab pertama buku ini, Sukarno menyatakan bahwa bagaimanapun juga laki-laki dan perempuan (Sukarno menggunakan kata wanita dalam buku ini ketimbang perempuan) tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, feminisme dan neo-feminisme mensejajarkan posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks bekerja. Sukarno menyampaikan bahwa sebelum adanya pemikiran bahwa perempuan dan laki-laki harus sejajar dalam bekerja, perempuan sebenarnya kodratnya memiliki kodrat yang lebih tinggi. Kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam konteks bekerja, menurutnya, mereduksi peran perempuan. Meski setuju bahwa laki-laki dan perempuan harus berjalan sejajar, Sukarno memandang bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang berbeda.

Sukarno menyampaikan beberapa kritik dalam buku tersebut. Pertama, kritik terhadap kemerdekaan perempuan ala Kartini. Menurutnya, merdeka ala Kartini belum tentu merdeka bagi perempuan lain. Kedua, kritik terhadap agama. Menurutnya, agama, dalam konteks-konteks tertentu, bersifat mengurung atau memenjarakan perempuan. Hal lain yang disinggung oleh Sukarno dalam Sarinah adalah soal kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual, menurut Soekarno terbagi atas dua: jasmani dan rohani. Bagi perempuan, kebutuhan seksual itu bukan saja kebutuhan jasmani tapi juga rohani. Bagi perempuan keduanya penting dan sulit untuk dipisahkan. Sedangkan laki-laki lebih mudah memisahkan kedua kebutuhan tersebut. Itulah mengapa laki-laki bisa dengan mudah menuju rumah bordil saat hanya ingin kebutuhan seksual jasmani.

Buku: Women and State in Modern Indonesia oleh Susan Blackburn. Pembaca: Sita Magfira

Pertanyaan utama buku ini adalah soal bagaimana negara dan perempuan Indonesia saling berhubungan satu sama lain. Buku ini fokus mengkaji organisasi-organisasi perempuan di Indonesia. Di awal bukunya, Blackburn menyampaikan bahwa buku ini bisa jadi tidak mewakili suara seluruh perempuan di Indonesia sebab ia hanya berfokus pada organisasi-organisasi perempuan di Indonesia. Meski begitu, Blackburn juga menyatakan bahwa bagaimanapun juga apapun yang dilakukan oleh organisasi perempuan Indonesia harus dihargai sebab organisasi-organisasi tersebut memberikan pengetahuan kepada kita tentang suara-suara perempuan yang diwakilinya. Menyatakan bahwa organisasi perempuan di Indonesia tidak representatif menurutnya sama dengan logika pemerintahan kolonial yang menyatakan bahwa pemimpin nasionalis Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan tidak mewakili suara rakyat.

WhatsApp Image 2018-02-07 at 00.12.18.jpg

Salah satu hal menarik yang diurai Blackburn adalah soal ideologi gender negara. Ideologi gender negara ini, menurutnya mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki harus bersikap berdasar pada jenis kelamin mereka. Ideologi gender negara, bagi Blackburn, tidak dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk pemerintahan di Indonesia dan memiliki hubungan yang erat dengan perkembangan gerakan perempuan. Politik etis pada masa pemerintahan kolonial Belanda, misalnya, memicu hadirnya gerakan perempuan karena meningkatnya taraf pendidikan perempuan. Pada 1949-1965, ada banyak organisasi perempuan di Indonesia. Salah satu organisasi perempuan pada periode ini yang secara khusus dibahas oleh Blackburn adalah Gerwani; yang tentu tidak dapat dipisahkan dari tragedi 1965. Pada masa Orde Baru, perempuan dipandang sebagai bagian penting dalam struktur masyarakat. Perempuan harus melakukan tugas-tugas ala ibu rumah tangga kelas menengah Barat sekaligus harus mengabdi pada suami, keluarga, dan negara. Ideologi gender Orde Baru terlihat jelas pada pembentukan organisasi macam Dharma Wanita, misalnya.

Hal menarik lain yang disampaikan oleh Blackburn dalam kaitannya dengan ideologi gender negara dan gerakan perempuan adalah soal banyaknya orang Indonesia (baik perempuan atau laki-laki) yang menghindari istilah feminisme. Hal ini menurutnya terkait dengan konotasi Barat yang melekat pada istilah tersebut dan sejarah Indonesia. Pengaruh nasionalisme dalam sejarah Indonesia, misalnya, membuat orang memandang bahwa feminisme adalah ideologi Barat dimana perempuan berjuang untuk berkompetisi dengan laki-laki sedangkan dalam konteks Indonesia yang terjajah, perempuan perlu berjuang bersama dengan laki-laki demi kemerdekaan.


Hari Ketiga

Buku: Analisis Gender dan Transformasi Sosial oleh Mansour Fakih. Pembaca: Amarawati Ayuningtyas

Mansour Fakih secara umum mengurai tentang analisis gender dan ketidakadilan gender. Ia memulai buku ini dengan menjelaskan apa gender dan bagaimana perbedaan gender dapat melahirkan ketidakadilan. Fakih bukan saja menjelaskan apa itu gender tapi menguraikan bagaimana kaitannya dengan berbagai konsep perubahan sosial. Fakih menyatakan bahwa perbedaan gender sesungguhnya bukanlah masalah selama tidak mengakibatkan ketidakadilan gender. Masalahnya, dalam realitas, perbedaan gender melahirkan ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan gender terjadi saat sifat yang merupakan hasil konstruksi masyarakat dikatakan sebagai kodrat yang diberikan oleh Tuhan. Menurut Fakih, ketidakadilan gender merupakan sistem yang membuat laki-laki dan perempuan menjadi korban.

Fakih kemudian menunjukkan bagaimana ketidakadilan gender membawa bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya, misalnya marginalisasi, subordinasi politik, pembentukan stereotipe, kekerasan, dan sebagainya. Marginalisasi sendiri adalah proses pemiskinan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa laki-laki dan perempuan. Kebijakan pemerintah, tafiran agama, keyakinan dan tradisi biasanya mengakibatkan proses marginalisasi, khususnya terhadap perempuan. Adapun subordinasi politik terhadap perempuan umumnya terjadi karena adanya pandangan bahwa perempuan adalah makhluk irasional yang tidak pantas menjadi pemimpin. Perempuan masih dipandang sebagai individu yang harus mengurus hal-hal domestik. Menurutnya, bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan ketidakadilan gender karena mereka saling terkait dan terhubung satu sama lain.

WhatsApp Image 2018-02-07 at 00.11.59.jpg
WhatsApp Image 2018-02-07 at 00.11.39.jpg

Fakih secara khusus juga membahas hubungan antara pembangunan dan nasib perempuan. Pembangunan, bagi Fakih, sejak awal dikembangkan tanpa mempertimbangkan masalah gender dan karena itu menimbulkan akibat yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Fakih juga menyinggung soal analisis gender dalam gerakan transformasi sosial. Gender merupakan alat analisis yang dipakai untuk mengkaji tidakadilan struktural dan sistematis. Fakih menyatakan bahwa tujuan dari analisis gender bukan sekedar untuk memperjuangkan kondisi perempuan tapi juga untuk mentransformasi agar perempuan dapat terlibat secara aktif dalam pembangunan.

Buku: Sexual Personae: Art and Decadence from Nefertiti to Emily Dickinson oleh Camille Paglia. Pembaca: Ferial Afiff

Ada beberapa poin menarik dalam Sexual Personae. Pertama, pandangan Paglia tentang feminisme. Feminisme menurutnya berusaha untuk menjauhkan relasi kekuasaan dengan jenis kelami dan karena itu telah bersikap melawan alam. Menurutnya, seks dan identitas adalah kekuatan. Dalam budaya Barat, menurutnya tdak ada hubungan yang bersifat tidak eksploitatif. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa feminisme telah melampaui misi mencari kesetaraan politik bagi perempuan dan berakhir dengan menolak keterbatasan manusia atau nasib. Kedua, pandangannya tentang seks. Paglia menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang punya kesadaran yang begitu terjerat dengan insting binatang. Menurutnya, dalam budaya barat, tidak pernah ada perjumpaan seksual yang bebas kecemasan. Setiap rasa ketertarikan, tiap pola sentuhan, dan tiap orgasme semuanya dibentuk oleh bayangan psikis. Paglia menyatakan bahwa seks tidak dapat dipahami sebab alam tidak bisa dipahami.

Hal menarik lain yang dibahas oleh buku ini adalah soal sastra. Paglia menyatakan bahwa tragedi adalah aliran sastra yang sangat Barat. Dalam sastra, tokoh tragis perempuan jarang. Tragedi adalah sudut pandang laki-laki. Tragedi adalah alat Barat untuk menguji dan melakukan pemurnian kepada laki-laki. Perempuan yang mengalami peristiwa dipandang sebagai perempuan yang kurang bermoral dibanding laki-laki yang mengalami ketragisan. Menjadikan perempuan sebagai tragedi bukanlah hasil dari prasangka laki-laki melainkan strategi seksual yang bersifat naluriah. Perempuan mengenalkan kekejaman yang dapat diterjemahkan menjadi tragedi karena perempuan adalah masalah yang coba diselesaikan oleh aliran sastra ini.

Paglia juga menyajikan pembahasan khusus soal alam dan perempuan. Identifikasi perempuan dengan alam menurutnya bersifat universal di masa prasejarah. Dalam masa perburuan atau masyarakat agraris yang bergantung pada alam, feminitas dihormati sebagai prinsip kesuburan yang imen. Budaya Budhisme, misalnya, mempertahankan makna purbawi tentang keperempuanan lama setelah Barat meninggalkan mereka. Laki-laki dan perempuan, dalam kebudayaan Cina, adalah kekuatan yang seimbang dan saling mempengaruhi di dalam manusia dan alam. Adanya evolusi dari kultus bumi ke kultus langit menggeser peran perempuan ke alam bawah. Perempuan disimbolkan dengan bumi. Perempuan tidak mengharapkan dirinya bisa lolos dari siklus alam, sebab dialah siklus alam tersebut. Paglia mencontohkan kedekatan perempuan dan alam dengan menunjukkan bagaimana menstruasi disebut sebagai datang bulan. Bulan merujuk pada siklus biologis perempuan sekaligus bagian dari alam.

Poin lain yang juga dikemukan oleh Paglia adalah soal homoseksualitas. Paglia menyatakan bahwa ia setuju dengan Sade bahwa manusia punya hak untuk menggagalkan dorongan prokreasi, lewat sodomi dan aborsi. Homoseksualitas laki-laki menurutnya adalah upaya paling berani dalam menghindari pandangan femme fatale dan melawan alam. Paglia lalu menyampaikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki tampang rupawan, kata Paglia, akan pergi, menghilang ke kekasih yang lain, ke tanah yang lain. Laki-laki yang rupawan adalah seorang pengembara, koboi, dan pelaut. Tapi sebaliknya, perempuan rupawan akan tetap diam, tenang, dan lumpuh. Dia akan bertahan sekaligus menjadi simbol yang keliru atas penyimpangan seksual. Selanjutnya, Paglia menulis bahwa kejahatan seksualitas selalu dilakukan oleh laki-laki, tidak pernah oleh perempuan, sebab kejahatan macam ini merupakan serangan atas kemahakuasaan perempuan dan alam.**