Orde Baru, OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015

From Lifepatch - citizen initiative in art, science and technology
Jump to navigation Jump to search
Logo Orde Baru, OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015

Seluruh informasi di artikel ini disadur dari situs resmi OK. Video pada tanggal 25 Juni 2015.

Tentang OK. Video

OK. Video merupakan salah satu divisi di ruangrupa, organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta yang bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah, dan jurnal.

Periode 2008-2014, OK. Video fokus pada pengembangan seni video di Indonesia. Pesatnya perkembangan teknologi audiovisual mendorong divisi ini membuka diri pada kebaruan gagasan kolaborasi dan persilangan seni, ilmu pengetahuan, media, dan teknologi melalui berbagai program, seperti festival, pameran dan pertujukan seni media, lokakarya, dokumentasi, produksi, serta distribusi karya seni media Indonesia.

Pada 2015, OK. Video mengembangkan diri secara institusional festival dan memutuskan untuk mengubah namanya dari Jakarta International Video Festival menjadi Indonesia Media Arts Festival. Ini sekaligus menjadi pembuka bagi perhelatan OK. Video di tahun-tahun mendatang yang memutuskan untuk memperluas medium artistik dan menghadirkan karya-karya yang lebih beragam. Misalnya karya berbasis waktu (video dan film) dan bersifat instalatif, pertunjukan, seni bebunyian (sound art), seni berbasis internet atau media sosial, dan membuka kemungkinan-kemungkinan lain dari karya-karya berbasis teknologi audiovisual dan media yang berpeluang menghadirkan kebaruan gagasan artistik dan isu-isu kritis terhadap tema besar yang diusung, serta memperluas jangkauan penontonnya.

Pernyataan

Poster Publikasi Orde Baru, OK. Video 2015

“Sebuah kisah perebutan persepsi publik 50 tahun lalu, “1 Oktober 1965, empat pernyataan Gerakan 30 September disiarkan sejak pagi hingga siang hari oleh Radio Republik Indonesia (RRI) yang telah dikuasai sejak dini hari. Radio menjadi saluran informasi satu-satunya yang populer dan dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia, walau disaat itu, Indonesia sudah mempunyai Televisi Republik Indonesia. Selain RRI, Gerakan 30 September juga menguasai gedung telekomunikasi. Namun selepas Maghrib, satuan-satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerbu dan merebut Radio Republik Indonesia dan gedung telekomunikasi dari penguasaan pasukan Gerakan 30 September. Jam 7 malam, RRI menyiarkan rekaman pidato Mayjen Soeharto yang menyatakan bahwa Gerakan 30 September telah dihancurkan. Keesokan harinya, semua media massa baik elektronik maupun cetak dikontrol militer.”

Peristiwa yang terjadi 50 tahun itu menjadi awal penguasaan teknologi media di bawah kontrol rezim otoriter Orde Baru (negara) mulai dari hulu hingga hilir untuk menjaga stabilitas politiknya di Indonesia selama 32 tahun kemudian.

Periode penguasaan teknologi media di masa kejayaan teknologi analog oleh negara juga terjadi di beberapa negara-negara di Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Amerika Latin. Penguasaan ini merupakan hal yang paling vital, efektif, dan efisien dalam menjalankan desain strategi propaganda kekuasaan dan mengontrol perspektif publik. Periode itu berakhir hampir bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin dan awal perkembangan teknologi media digital di seluruh dunia, yakni sekitar akhir 1980-an dan 1990-an. Saat itu penguasaan teknologi media di tangan warga juga mulai memperlihatkan perannya, salah satunya dengan kehadiran alternatif informasi dan keberagaman perspektif.

Di lajur lain, korporasi yang memproduksi dan memasarkan teknologi media juga terus mengembangkan teknologi audiovisualnya agar lebih murah dan mudah digunakan oleh seluruh masyarakat di dunia. Di akhir perjalanan teknologi audiovisual pada masa analog tersebut, negara kemudian berhadapan dengan warga. Sebuah masa pertarungan dua perspektif, yakni informasi versi warga dan versi negara yang terjadi hingga masa digital saat ini.

Di tahun ke tujuh ini, festival OK. Video akan hadir dengan mengangkat tema Orde Baru sebagai poros festival. Tema Orde Baru sendiri diambil dari rezim pemerintahan Indonesia yang dipimpin oleh Soeharto selama 32 tahun (1966 – 1998). Orde Baru lahir tahun 1966 untuk membedakan diri dengan pihak antiperubahan yang dicap sebagai Orde Lama pimpinan Sukarno.

Orde Baru sebagai poros festival akan membenturkan dua hal, yakni (1) politik teknologi media analog yang dikuasai dan digunakan rezim otoriter (negara) membangun persepsi publik dan menyelesaikan persoalan dan (2) politik teknologi media digital yang dikuasai warga pasca berakhirnya Perang Dingin atau runtuhnya rezim otoriter dan awal kebangkitan demokrasi.

Melalui rangkaian programnya tahun ini, OK. Video mencoba bermain dengan cara memetakan, mendekonstruksi, bahkan menihilkan strategi rezim otoriter (negara) untuk menguasai teknologi media dalam membangun simulakrum heroisme (bapakisme), monopoli kebenaran, dan penyeragaman persepsi; dan bahkan menjadikannya alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan negara.

Membaca teknologi media analog dengan teknologi media digital diharapkan akan melahirkan perspektif baru dalam melihat sejarah dan mitos-mitos persepsi publik ciptaan rezim otoriter yang masih bertahan hingga hari ini. Peran warga yang di masa periode analog masih dianggap sebagai seorang anak yang tidak memiliki kekuatan, bodoh dan lemah, serta yang sedang ‘dibangun’; sedang peran negara (pemimpin otoriter) dianggap sebagai seorang Bapak yang kuat, pandai, penting, besar, dan yang membangun; akan dihadapkan dengan suatu masa bagaimana warga menyelesaikan persoalannya dengan teknologi media secara mandiri di hari ini.

Sejak kemunculan teknologi digital dan internet, warga dianggap telah memiliki alat komunikasi dan alat produksi dan distribusi informasi yang mandiri untuk merumuskan persoalan dan mengolah data hingga menghasilkan dampak atau solusi persoalan yang nyata dan tepat guna. Di masa analog, peluang demokratisasi teknologi media ditutup rapat-rapat. Peran warga yang ‘kreatif’ menyelesaikan persoalannya selalu dianggap sebagai tindakan subversif karena menghasilkan alternatif-alternatif informasi (kebenaran) yang berada di luar informasi resmi versi rezim otoriter. Berbeda dengan situasi di masa teknologi media digital. Peluang itu justru terbuka lebar. Dan di hari ini, peran warga dalam menyelesaikan persoalannya dengan teknologi media telah memasuki tahap kemandirian yang sistematis.

Pemilihan tema Orde Baru menjadi pembuka bagi perhelatan OK. Video di tahun-tahun mendatang yang memutuskan memperluas capaian artistik yang tidak hanya menghadirkan karya-karya berbasis waktu (video, film, dan pertunjukan) dan bersifat instalatif-multi kanal, tetapi juga seni bebunyian (sound art), digital imaging, seni berbasis internet, dan kemungkinan-kemungkinan lain dari karya-karya berbasis teknologi media yang berpeluang menghadirkan kebaruan gagasan artistik yang tak terbatas dan isu-isu kritis terhadap tema besar yang diusung.

Di tahun ini pula, OK. Video mengembangkan diri secara institusional festival dan memutuskan untuk mengubah namanya dari Jakarta International Video Festival menjadi Indonesia Media Arts Festival.

Tentang Orde Baru

JAKARTA – Festival seni media berskala internasional, OK. Video – Indonesia Media Arts Festival, kembali hadir. Ini merupakan festival ketujuh yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali sejak diadakan pertama kali pada tahun 2003. Galeri Nasional Indonesia kembali mendukung perhelatan OK. Video tahun ini sekaligus menjadi lokasi utama penyelenggaraan festival. ORDE BARU OK. Video – Indonesia Media Arts Festival 2015 akan diselenggarakan pada 15 – 28 Juni 2015.

Direktur Artistik OK. Video, Mahardika Yudha, tahun ini merangkap sebagai kurator pameran. Sebelumnya, ia menjadi kurator OK. Video Flesh – 5th Jakarta International Video 2011 untuk subtema Surveillance & Self Potrait bersama Rizki Lazuardi.

Sebanyak 73 seniman dari 21 negara, seperti Jepang, Prancis, Inggris, Belanda, Belgia, Kolombia, Vietnam, Pakistan, Taiwan, Cekoslowakia, Korea Selatan, Filipina, Afrika Selatan, Jerman, Austria, Rusia, Venezuela, dan Kanada, yang berpartisipasi dalam festival tahun ini, termasuk di antaranya 12 karya yang lolos seleksi Open Submission. Tiga karya seleksi terbaik akan diumumkan saat hari pembukaan.

Tahun ini, OK. Video mengusung tema “Orde Baru” sebagai poros festival. Bagaimana politik teknologi media (analog) yang dikuasai dan digunakan rezim otoriter (negara) dalam membangun persepsi publik dan menyelesaikan persoalan, serta politik teknologi media (digital) yang dikuasai warga pasca berakhirnya Perang Dingin atau runtuhnya rezim otoriter dan yang mengawali kebangkitan demokrasi adalah dua hal yang coba dibenturkan melalui tema ini. Dengan membaca kedua hal tersebut, diharapkan sebuah perspektif baru lahir untuk melihat kembali sejarah dan mitos-mitos persepsi publik ciptaan rezim otoriter yang masih bertahan hingga hari ini.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kita seperti dihadapkan pada sebuah situasi masa lalu (sejarah) dan kehidupan hari ini yang seolah berjalan dalam satu waktu. Begitu pun dengan perspektif-perspektif baru yang terkuak dari sejarah-sejarah tersebut,” jelas Mahardika Yudha. “Beragam versi arsip sejarah yang dulu banyak tersimpan, kini terbuka dan dapat diakses sehingga dapat dimaknai ulang oleh masyarakat dunia. Kehadiran teknologi media internet berhasil memotong batas geografis dan waktu kelahiran situasi tersebut.”

Di tahun ini pula, OK. Video mengembangkan diri secara institusional dan memutuskan untuk meneguhkan posisinya sebagai Festival Seni Media Indonesia (Indonesia Media Arts Festival), dari sebelumnya Festival Video Internasional Jakarta (Jakarta International Video Festival). Perubahan ini membuka jalan OK. Video dalam memperluas capaian artistik dengan tidak hanya menghadirkan karya-karya berbasis waktu (video, film, dan pertunjukan) dan bersifat instalatif atau multi kanal (multi-channel), tetapi juga seni bebunyian (sound art), rekayasa digital (digital imaging), seni berbasis internet, dan kemungkinan-kemungkinan lain dari karya-karya berbasis teknologi media yang berpeluang menghadirkan kebaruan gagasan artistik yang tak terbatas dan isu-isu kritis terhadap tema besar yang diusung.

Festival akan dibuka hari Minggu, 14 Juni 2015, pukul 16.00 – 22.00 di Galeri Nasional Indonesia dan dimeriahkan pertunjukan multimedia dari bequiet, Brisik, AstoneA, dan Racun Kota, serta penampilan khusus dari ruangrupa. Selain pameran, rangkaian program publik ORDE BARU OK. Video – Indonesia Media Arts Festival 2015 terdiri dari pertunjukan multimedia, simposium, lokakarya, dan diskusi. Tahun ini, OK. Video mengundang Riksa Afiaty sebagai kurator Open Lab, laboratorium kolaborasi seni media yang melibatkan empat kelompok seniman lifepatch, WAFT Lab, MakeDoNia, dan Digital Nativ, serta Aditya ‘Gooodit’ Fachrizal Hafiz sebagai kurator pameran digital interaktif Ekspresi Digital Kaum Muda Urban.

Seniman

Berikut adalah seniman yang berpartisipasi dalam Orde Baru, OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015:
AstoneA (Indonesia), Ade Darmawan (Indonesia), Andreas Siagian (Indonesia), Anggun Priambodo (Indonesia), Anouk De Clercq (Belgia), Arahmaiani (Indonesia), Ari Dina Krestiawan (Indonesia), Ari Satria Darma (Indonesia), Ary ‘Jimged’ Sendy (Indonesia), Bagasworo Aryaningtyas (Indonesia), Basir Mahmood (Pakistan), bequiet (Indonesia), Biro Arsitek (Indonesia), Brisik (Indonesia), Carlos Motta (Kolombia), Cecil Mariani (Indonesia), Chabib Duta Hapsoro & M.R. Adytama Pranada (Indonesia), Che Onejoon (Korea Selatan), Chto Delat (Rusia), Contact Gonzo (Jepang), Cut and Rescue (Indonesia), Digital Nativ (Indonesia), DIODORAN (Indonesia), Douwe Dijkstra (Belanda), Edwin (Indonesia) & Thomas Østbye PlymSerafin (Norwegia), Eric Baudelaire (AS/Prancis), Fluxcup (Indonesia), Forum Lenteng (Indonesia), Francois Knoetze (Afrika Selatan), Geert Mul & Michel Banabila (Belanda), Hafiz (Indonesia), Halaman Papua (Indonesia), Henry Foundation (Indonesia), Ika Vantiani & Feransis (Indonesia), IndoPROGRESS (Indonesia), IP Yuk-Yiu (Hong Kong), Irama Nusantara (Indonesia)

Partisipasi Lifepatch di Orde Baru, OK. Video 2015

Partisipasi Lifepatch diwakili oleh:

Adapun partisipasi Lifepatch dalam festival ini antara lain adalah:

Lokakarya Swakriya Citra Maya

Citra maya hasilkit Rana Cahaya

Lokakarya Swakriya Citra Maya adalah sebuah lokakarya yang menjadi bagian dari Orde Baru, OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015.

Deskripsi Lokakarya

Swakriya Citra Maya adalah sebuah lokakarya penyorotan citra dalam bentuk citra bayangan. Lokakarya ini mengajak para peserta untuk membuat sebuah alat sederhana yang dapat digunakan untuk membuat citra bayangan dua dimensi dengan penyorotan citra dari sebuah telepon genggam. Dalam sains geometri, citra bayangan itu sendiri adalah sebuah citra maya yang terbentuk oleh pemantulan cahaya. Lifepatch mengembangkan sebuah kit bernama Rana Cahaya sehingga peserta dalam lokakarya ini tidak memerlukan keahlian khusus untuk merangkainya.

Detail Lokakarya

Lokakarya ini berlangsung pada:

  • Hari/Tanggal: Sabtu, 13 Juni 2015
  • Waktu: 12:00 - 18:00 WIB
  • Tempat: Ruang Seminar Galeri Nasional Indonesia
  • Alamat: Jl. Medan Merdeka Timur No.14 Gambir Kota, Jakarta Pusat

Peserta dari workshop ini dipilih oleh OK Video melalui pendaftaran.

Contoh Hasil

Berikut contoh hasil hologram 3 dimensi dari Rana Cahaya:

Dokumentasi

Dokumentasi video dari lokakarya ini :

Dokumentasi foto terpilih dari lokakarya ini:

Open Lab OK. Video 2015

Peserta Open Lab, (berdiri kiri ke kanan): Andreas Siagian, Miebi Sikoki, Riksa Afiaty, Dholy Husada, Dale Gorfinkel, Benny Wicaksono. (Duduk kiri ke kanan): Aditya Adinegoro, Adhari Donora, Helmi Hardian, Oo Uncletwis, Budi Prakosa

Open Lab merupakan salah satu program dalam Orde Baru, OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015.

Deskripsi Program

Open Lab merupakan salah satu program dalam Orde Baru, OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015. Program ini mengajak 4 komunitas yang bekerja dengan aplikasi kreatif teknologi untuk bekerja sama dalam memadukan, bertukar dan menghasilkan sebuah kerja kolaborasi dalam durasi waktu 5 hari selama festival berlangsung. 4 komunitas ini dipandu selama durasi waktu tersebut oleh kurator yang telah dipilih dan kerja mereka berlandaskan pada gagasan tema festival OK. Video kali ini, yaitu "Orde Baru".

Detail Program

Program Open Lab berlangsung pada:

  • Hari/Tanggal: 14 - 19 Juni 2015
  • Waktu: 12.00 - 18.00 WIB
  • Tempat: Bangsal Galeri Nasional Indonesia
  • Alamat: Jl. Medan Merdeka Tim. No.14 Gambir Kota Jkt Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jkt 10110 Indonesia

Presentasi Publik berlangsung pada:

  • Hari/Tanggal: 9 Juni 2015
  • Waktu: 18.00 WIB
  • Tempat: Bangsal Galeri Nasional Indonesia
  • Alamat: Jl. Medan Merdeka Tim. No.14 Gambir Kota Jkt Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jkt 10110 Indonesia

Kuratorial

Poster Publikasi Open Lab OK Video 2015

Apabila kita melihat kembali ke masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi karena dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi sebuah kekuasaan. Kita digiring untuk melakukan sesuatu dalam sebuah desain yang mengarah pada keseragaman dalam balutan propaganda kesatuan dan persatuan sebuah bangsa. Hilangnya kebebasan berekspresi dan represi terhadap narasi di luar narasi resmi pemerintah inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa seni di Indonesia, terutama terkait dengan teknologi media, tidak muncul di tahun ‘80-an. Yang berlanjut pada hilangnya kultur medium pada karya-karya seni media yang lahir kemudian di tahun ‘90-an.

Kini, ketika batasan-batasan itu runtuh, berbagai macam metode dan cara untuk bekerja secara bersama-sama terbuka luas. Platform kolaborasi mulai menandai kebebasan tersebut, yang pada saat ini, kita akan menggali potensi dari berbagai perspektif dan interdisipliner untuk menghubungkan praktek dan penelitian dari sebuah media (seni) dan teknologi sehingga dapat mengeksplorasi bagaimana produksi budaya kontemporer dapat memberikan pengetahuan tentang isu-isu yang kita hadapi sekarang.

Open Lab OK. Video adalah sebuah landasan dimana seniman berperan sebagai tukang ngoprek sekaligus menjadi kritis terhadap apa yang mereka kerjakan. Pada awalnya ini adalah sebuah usaha untuk memetakan cara kerja sekaligus menginvestigasi ide dibalik berbagai praktek seniman atau inisatif seni media di Indonesia. Namun lambat laun gagasannya merambah menjadi sebuah pertanyaan tentang bagaimana di masyarakat, ada sebagian dari kita yang menggunakan (seni) media yang tentu saja tidak hanya berkembang di ranah teknis atau hal-hal yang membicarakan mediumnya namun juga kritiknya yang beriringan dengan teknologi dan gagasan seni rupa.

Dengan menghindari jargon inovasi ataupun teknologi canggih, mereka justru menempatkan diri untuk menghasilkan diskusi dari konsep media itu sendiri. Mereka tidak didudukan sebagai seorang ilmuwan yang akan menawarkan sebuah solusi, tapi justru seseorang yang mempertanyakan sistem, mencoba kritis terhadap industrinya, kritis terhadap idenya atau bahkan mungkin sejarah teknologinya. Ada sisi polemis dari sebuah karya yang pada akhirnya masih menyisakan ruang untuk berpikir atau memaknai ulang apa yang sudah taken for granted. Jika kita tidak bisa membuat sistemnya, maka marilah kita yang melakukan penetrasi sistemnya untuk mengatasi atau menyiasati keterbatasan teknologi sehari-hari.

Maka istilah Open Lab OK Video dirancang sebagai tempat bertemunya kerja-kerja lintas disiplin untuk memperluas dan memperdalam pemahaman kita tentang sebuah isu yang akhirnya memungkinkan kita untuk saling mendengarkan, mengelaborasi dan menciptakan ulang dari teknologi Barat yang sudah kita terima begitu saja; kita yang tidak punya sejarah gagasan (teknologi Barat) yang panjang, namun kita memiliki dan dikelilingi berbagai perangkat dan produk canggih di dalam keseharian.

Jika ada makna seni tersirat disini, itu bukanlah sebagai akumulasi dari benda-bendanya, tetapi sebagai cara mendekati pengetahuan, dan melihat pengetahuannya bukan sebagai akumulasi data, tetapi sebagai mekanisme yang fleksibel dan organik untuk membaca sebuah realitas keseharian yang bersinggungan dengan teknologi. Seni sebagai cara berpikir, memperoleh pengetahuan dan sebagai alat untuk menumbangkan konvensi pembentukan budaya lama. Mungkin kekacauan adalah bagian dari proses tersebut, dimana keterhubungan yang tak logis sama pentingnya dengan yang logis, dan semuanya terjadi saat kita berusaha untuk membangun sistem yang baru.

Jakarta, Anti-Bobo 2015

Kurator

Program Open Lab dikuratori oleh Riksa Afiaty.

Riksa Afiaty

Riksa Afiaty adalah seorang kurator yang juga aktif berorganisasi bersama ruangrupa.

Riksa Afiaty sudah terlibat di Jakarta Biennale sejak 2013, sebagai koordinator artsitik dan pameran. Sebelumnya perempuan yang lahir di Bandung pada 1986 ini menimba pengalaman dan mengasah ilmu di OK. Video Festival pada 2011 dan 2013. Riksa juga banyak belajar dari residensi di Rumah Seni Cemeti pada 2013 dan lokakarya kurator di Japan Foundation Jakarta pada 2014. Sebagai kurator dan ko-kurator, ia sudah terlibat di sejumlah pameran di Jakarta dan Yogyakarta dari 2011; beberapa di antaranya Regeneration, Ayatana: On Mobility, dan Lukisan yang Baik: 40 Tahun Desember Hitam. Saat ini Riksa aktif berkegiatan di ruangrupa sebagai koordinator Art Lab.

Peserta

Adapun peserta Open Lab antara lain adalah:

Dokumentasi

Berikut dokumentasi video acara ini:

Berikut dokumentasi foto terpilih dari acara ini:

Referensi dan Pranala Luar