Sarinah, Apa Kabarmu?
Sepulang dari Residensi UK/ID di Inggris , kami berdiskusi tentang per-gender-an dalam pertemuan internal Lifepatch. Kami menyadari bahwa tidak ada program Lifepatch dalam 5 tahun terakhir yang fokus pada isu gender. Bukan karena kami tidak tertarik dengan masalah ini. Tapi memang tidak satu pun anggota Lifepatch memiliki pemahaman mendalam tentang masalah gender, sehingga kami semua ingin belajar tentang itu, dan ingin tahu lebih tentang masalah ini. Jadi kami bersepakat untuk mempelajari lebih lanjut tentang masalah gender dalam konteks lokal Indonesia sebelumnya.
Dimulai dengan mendapati Jika seks adalah konteks biologis, maka gender adalah konsep sosial. Bagaimanakah konteks sosial soal gender dalam pemahaman lokal di Indonesia, sementara rujukannya masih terbilang terbatas dibandingkan dengan sumber global (Barat)?
Berbicara tentang rujukan, kami menemukan Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia sebagai publikasi awal Indonesia dalam isu gender, ditulis 1963 oleh presiden pertama Indonesia: Ir. Soekarno. Buku ini setidaknya menjabarkan tentang posisi perempuan-lelaki dalam konteks sosial Indonesia pada masa itu, seperti: peran suami dan istri dalam keluarga, kritik tentang bagaimana lelaki memperlakukan perempuan, mempertanyakan posisi perempuan dalam konteks agama (takdir), serta konsepsi sosial lainnya.
Muncullah asumsi bahwa mungkin di masa lalu, Indonesia tidak memiliki ketidakadilan gender, perempuan memainkan peran cukup signifikan. Sebagaimana lebih lanjut kami temukan dalam penelitian yang menyatakan, dalam masyarakat Jawa Kuno, persamaan dan peran perempuan hampir mencakup dalam berbagai aspek kehidupan. Sampai perubahannya, dampak era kolonial yang mengubah peran perempuan menjadi lebih rendah, seperti dalam satu blog disebutkan, salah satu kebijakan Belanda adalah, pendidikan hanya untuk kaum elit dan dalam mendukung laki-laki ... Perempuan mendapatkan perlakuan kasar dan berada di bawah dalam segala cara.
Bagaimana cara melacaknya hari ini?
Benarkah Indonesia di era lama (sebelum namanya Indonesia) tidak memiliki masalah gender, benarkah masalah datang dari luar (penyebaran agama/kolonial)?
Kami mulai bertanya-tanya bagaimana situasi sosial di satu daerah di Indonesia, terutama yang belum begitu banyak rujukkannya, diluar tanah Jawa. Sebagaimana dalam mesin perncarian di Internet, terdapat info yang terbatas tentang beberapa suku di pulau-pulau lain yang secara sosial menggunakan sistem pembagian peran matri, patri, atau lebih baik lagi bila ada yang menempatkan peran kehidupan tanpa melihat jenis kelamin. Konon Suku Minangkabau di Sumatera Barat adalah kelompok etnis terbesar di dunia, yang menganut sistem matrilineal. Atau kisah kaum pendeta setengah dewa (Bissu) di Sulawesi Selatan, yang memiliki lima golongan gender sendiri.
Dari situlah kami mulai berpikir untuk mendatangi sebuah kelompok etnis. Kami mendengar tentang suku-suku di Malaka, Bunaq dan Dawan di kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Katanya suku-suku tersebut matrilineal. Mereka memiliki sistem sosial yang unik di masyarakat dan riwayat misterius. Ada yang mengatakan teknik arsitektur mereka memiliki irisan dengan isu gender.
Kami ingin tahu, melihat dan mengalami langsung, apakah informasi tersebut benar; dengan melakukan penelitian lapangan. Mungkin sistem yang mereka miliki bisa kita adopsi untuk mempelajari tentang gender, barangkali bisa bermanfaat untuk disampaikan/bagi/tukar pengetahuannya ke khalayak yang lebih luas. Untuk rencana ini beberapa anggota Lifepatch (Ferial Afiff, FX. Agung Firmanto, Sita Magfira), serta rekanan lain (Amarawati Ayuningtyas, Opée Wardhany); berangkat kesana, ke beberapa titik lokasi, menelusuri suku-suku tersebut. Hasil penelitian kecil ini akan kami sebarkan dalam bentuk eBook, serta di cetak terbatas bagi para nara-sumber yang kami temui disana, serta beberapa berdasarkan pesanan.
Sebelum penelitian kecil tersebut, kami mulai dengan Klab Baca, Seri Kuliah, serta Workshop Research Formulation; semacam perbekalan bagi personil yang akan berangkat.
Sementara kami melakukan penelitian, kami juga akan mencari kemungkinan untuk bekerja bersama dengan orang-orang di sana. Membuat proyek seni yang mengeksplorasi dengan isu yang kami temui, mengajak Jameela Khan dari Inggris ke sana.