Ekspresi Kreatif Lewat Laboratorium Amatir
Sebuah artikel dari Majalah Gatra edisi "Libas Mafia Beras", 5-11 Maret 2015 yang ditulis oleh Birny Birdieni dan Arif Koes Hernawan. Artikel ini disadur kembali oleh Andreas Siagian pada tanggal 24 Agustus 2015.
Isi Artikel
Komunitas Lifepatch hadir sebagai inisiatif warga dalam seni, sains dan teknologi. Kiprah mereka bahkan hingga ke mancanegara. Pesan moralnya, ingin mengajar masyarakat tentang kerja sebuah sistem.
Sirkuit komponen elektronik itu ternyata sebuah alat pemaggil ikan. Adanya lampu Light Emitting Diode (LED) pada perangkat itu menjadi daya tarik ikan-ikan untuk mendekat. Secara teknis, dia juga mengeluarkan suara.
Alat ini dibuat Agus Tri Budiarto (atau yang kerap disapa Timbil) dan Adhari Donora (Ade). Lantaran alat ini, mereka diundang menjadi pembicara workshop Squat & Grow di Singapurapada 31 Januari hingga 13 Februari 2015. "Selain memberi pelatihan tentang alat pemanggil ikan atau fishcaller, juga tentang fermentasi tape beras dan fermentasi tape telo (singkong)," kata Timbil kepada M. Afwan Fathul Barry dari GATRA.
Squat & Grow merupakan pelatihan dan diskusi dengan topik penanaman tanaman pangan, fermentasi dan juga mencari makan. Lokakarya publik ini juga memberi pelajaran tentang pembuatan biogenesis organik yang gampang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Termasuk eksperimen semi-tech, seperti sonifikasi makanan dan visualisasi data makanan, hingga bermain dengan sumber resep orang lain.
Ide pembuatan fish caller ini berasal dari internet. Timbil lantas memodifikasinya dengan menambahkan lampu. "Fungsi biasanya untuk menangkap ikan, tapi kalau aplikasi saya untuk mengetahui kualitas air sungai dengan melihat ikan apa saja yang ada di sana," kata Timbil. Alat itu merupakan salah satu "Jogja River Project" untuk memonitor kualitas air Kali Code, dungai di tengah kota Yogyakarta.
Alat itu sebenarnya menjadi media untuk menyampaikan pesan penting tentang cara kerja sebuah sistem. Dengan mengetahui hal tersebut, orang tidak sekadar mengonsumsi sebuah produk, tapi tahu proses produksinya sehingga mampu memodifikasi sendiri ataupun bersama orang lain. Untuk mewujudkannya, berdirilah sebuah komunitas bernama Lifepatch.
Lifepatch menyebut diri sebagai inisiatif warga dalam seni, sains dan teknologi. Filosofi mereka adalah do it yourself (DIY) dan do it with others (DIWO). Salah seorang anggota Lifepatch, Andreas Siagian alias Ucok, mengatakan filosofi itu bukan adopsi dari pergerakan aliran Punk.
Masyarakat Indonesia, kata Ucok, telah lama menjalankan itu. Contoh sederhana adalah sistem menjaga keamanan lingkungan secara bergiliran atau para petani yang bekerja sama saat memanen sawah. "Ini sebenarnya sudah mendarah daging," katanya.
Wadah kegiatan ini berada di tempat, yang mereka sebut Rumah Lifepatch di Jalan Bugisan Selatan, Gumuk Indah RT 13 RW 36, Yogyakarta. Pada 2013, ruang tengah rumah kontrakan mereka pun disulap menjadi "Laboratorium Bio-Elektronika" Lifepatch.
Ini merupakan laboratorium amatir untuk praktek biologi dan elektronika bagi anggota komunitas dan warga yang berminat. Di Rumah Lifepatch, mereka sering mengadakan lokakarya tentang proyek mereka. Misal lokakarya alat pemanggil ikan yang diselenggarakan pada 17 Oktober lalu dengan peserta warga Jalan Juminahan, Yogyakarta.
Ucok menjelaskan, komunitas ini berawal dari kumpul - kumpul acara bernama Jogja River Project 2011. Peserta acara susur sungai dan mengenali lingkungan sekitar ini ada 20-an orang. Dalam acara tersebut, mereka tak cuma jalan-jalan, tapi juga mencomot aneka data dari sungai tersebut. Acara ini menjadi kegiatan rutin hingga menyasar kali yang ada di DIY. Sehingga data yang mereka himpun pun menjadi bank data bagi para peneliti.
Dari aktivitas ini, periset Swiss dan India mengajak berkolaborasi. Mereka menggelar penyuluhan kecil-kecilan di sekitar sungai, seperti pembelajaran tentang menjaga kebersihan untuk anak-anak. "Kami belum sampai pada advokasi," ujar pria asal Bogor, Jawa Barat itu.
Sembilan orang penggiat Jogja River Project bersepakat membentuk Lifepatch pada 26 Maret 2012. Mereka berlatar belakang berbagai disiplin ilmu dan minat. Seperti mikrobiologi, elektronika, kimia, fotografi dan seni rupa.
Masing-masing anggota sibuk dengan kegiatan masing-masing, seperti kerja, kuliah pascasarjana, ataupun mengerjakan proyek masing-masing. Setiap personel bebas mengembangkan karya. Ucok gemar mengutak-atik elektronika. Lulusan Teknisk Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu bikin sensor bunyi dengan pola harimau yang tampak artistik. Beberapa kali ia menggelar workshop pembuatan sensor.
Ucok pernah diundang dua kali ke Eindhoven, Belanda. Pesertanya 20 orang. Jika di Yogyakarta sensor dihargai maksimal Rp. 70.000, di sana sekali workshop dihargai 35 euro per orang per pertemuan. "Bahkan di negara maju gak ada praktek karya interdisipliner. Kalai di Indonesia justru berkembang secara autodidak karena keterbatasan," ia menjelaskan.
Lokakarya lain bebas digelar para personel. "Random aja," ujar Ucok. Misalnya, lokakarya membuat tempe, yoghurt hingga wine dengan aneka racikan. Dalam pameran Jakarta Biennale 2013, hasil lokakarya ini ditunjukkan dan diberi merek Anggur Anak Muda. Lokakarya lain variatif, mulai fotografi, olah data dan pemrograman, hingga soal bakteri.
Karya kolektif Lifepatch baru satu, yaitu Moist Sense, instalasi rangkaian pot tanaman dengan perangkat elektronik sehingga ketika tanaman kekurangan air atau minedal akan memunculkan sinar dan suara secara berbeda. "Tanaman seperti menyanyi," ujar Ucok.
Moist Sense telah dipamerkan dalam rangkaian Media/Art Kitchen 2013 di Bandung, Jakarta, Kuala Lumpur, Manila dan Bangkok. Juga di ajang Festival Kesenian Yogyakarta tahun lalu. Semua kegiatan Lifepatch memang sudah menjangkau mancanegara. Tidak berdasarkan undangan saja, bisa juga dari proposal untuk ikut berpartisipasi.
Proyek lain Lifepatch mendokumentasikan seni visual jalanan. Pada laman urbancult.net, mereka mengumpulkan dan memajang foto-foto mural dan grafiti. Siapa saja boleh menyumbangkan karya. Pengirim terbanyak dari Yogyakarta, tapi ada juga dari luar negeri. "Sayang kalau tak didokumentasikan, karena karya-karya ini bisa hilang dibersihkan atau ditimpa karya lain."
Sebagian dana operasional Lifepatch diperoleh dari kerja sama program semacam itu. Saat ini, mereka tengah mengembangkan pendanaan secara swadaya dengan menjual desain dan produk cenderamata macam kaus. "Belum ada rencana ke crowd funding," ujar Ucok menegaskan.
Lifepatch menjalin jaringan dengan komunitas lain. April lau, Lifepatch turut memfasilitasi program konservasi tanah dan tanaman yang diikuti 50 orang asing. Bulan lalu, markas mereka dipakai untuk menggodok pameran "Jinayah Siyasah", proyek seni di komunitas Islam berbeda.
Untuk mengembangkan jaringan, Ucok berencana mendekati anak band. Komunitas band sebetulnya dekat dengan teknologi terutama elektronika untuk musik mereka. Namun, karena merasa susah dan minder duluan, mereka mengambil jarak. "Lifepatch coba tidak menyakralkan teknologi dan membuat orang tertarik dan belajar karena sebetulnya tidak terlalu sulit," katanya.